samudrafakta.com

Agama Bukan Candu, Tetapi Booster Kemandirian Ekonomi

Ada juga program tabungan Tajrin Naf’ah, yaitu gerakan menabung warga Shiddiqiyyah yang dicanangkan oleh Kiai Tar. Setiap warga diminta menabung sebesar Rp500.000 setiap bulan selama tiga tahun atau 36 bulan. Artinya, uang yang ditabung itu baru bisa diambil setelah 3 tahun.

Nominal Rp500.000 itu hitungan untuk satu paket dan satu orang bisa mengambil lebih satu paket. Apabila tidak mampu mengambil satu paket, warga bisa bergabung dengan warga lainnya, sehingga bisa mengumpulkan minimal Rp. 500.000. Kendati yang ditabungkan duit patungan, tabungan itu harus tetap atas nama satu orang.

Dana yang terkumpul diinvestasikan sehingga menghasilkan keuntungan (return) yang akan dibagikan dan dimanfaatkan tiga bulan sekali untuk kepentingan operasional pendidikan, santunan, pembangunan rumah layak huni, silaturahmi, wisata rohani, dan pembangunan gedung Jami’atul Mudzakkirin.

Gerakan ini punya dua tujuan sekaligus, yaitu membiasakan warga Shiddiqiyah agar gemar menabung, sekaligus untuk menghimpun pendanaan bagi program-program Shiddiqiyyah. Dana tesebut diputar dalam bentuk investasi dan pengembangan usaha, di mana keuntungannya digunakan untuk mendanai program-program sosial Shiddiqiyyah. Karena itulah tabungan ini dinamakan tajrin naf’ah, yang berarti “mengalirkan manfaat”.

Baca Juga :   Rumah Syukur: 100 Persen Gratis, Material dan Desainnya Bukan ‘Kaleng-Kaleng’
Salah satu produk warga Shiddiqiyyah yang dipamerkan dalam Gelar Wujud Karya menjelang perayaan Hari Shiddiqiyyah ke-33. (Dok. Ist.)

Untuk terus menjaga kesinambungan regenerasi dalam pengelolaan ekonomi mandirinya, Tarekat Shiddiqiyyah memilik mekanisme pengkaderan penggerak kemandirian ekonomi yang cukup unik. Di lingkungan Pesantren Shiddiqiyyah ada dua kategori santri, yaitu santri yang belajar secara formal dan diasramakan dalam lingkungan Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman, dan santri yang menimba ilmu hikmah dari Mursyid dengan masuk tarekat melalui pintu bai’at.

Santri jalur bai’at mendapatkan pengajaran semacam pesantren kerja. Mereka diajak bekerja di lapangan, seperti mengerjakan perkebunan atau pertanian, atau diikutkan dalam program-program pembangunan dalam kegiatan sosial—seperti pembangunan Rumah Syukur Layak Huni (RSLH)—sesuai petunjuk Kiai Tar. Dan di sela menyelesaikan aktivitas kerjanya, mereka juga mendapatkan wejangan dan hikmah dari Kiai Tar. Mereka juga diarahkan untuk mengamalkan wirid dan amalan tertentu sesuai tingkatan rohaniah masing-masing. Santri seperti ini dinamakan “ARWAH”, akronim dari “Arek Sawah” atau “Anak Sawah”.

Dengan seluruh metode tersebut, Tarekat Shiddiqiyyah terus berupaya menghidupkan kemandirian ekonomi secara berkesinambungan dan menolak anasir imperialisme yang bisa menjadi biang kehancuran ekonomi, sehingga keadilan dan kesejahteraan sosial gagal terwujud. Doktrin ekonomi mandiri ini pada akhirnya berhasil membentuk santri dan warga yang percaya diri dengan kemampuan sendiri, mencintai tanah airnya, sehingga tidak bisa dibujuk oleh rayuan agigator radikalisme dan terorisme atas nama agama.

Baca Juga :   "Sambung Roso", Cara OPSHID Merawat Budaya Silaturahmi

Apa yang dikerjakan Tarekat Shiddiqiyyah ini sekaligus membantah teori Karl Marx yang menyebut bahwa agama adalah candu yang menghancurkan kesejahteraan masyarakat. Di tangan Tarekat Shiddiqiyyah, agama bukanlah candu, tetapi booster yang mampu mendorong kemandirian ekonomi dan membangun kesejahteraan secara luas dan merata.*

Artikel Terkait

Leave a Comment