samudrafakta.com

Agama Bukan Candu, Tetapi Booster Kemandirian Ekonomi

KH. Muchtar Mu’thi tak putus-putusnya mendorong warga Shiddiqiyyah agar membangun kemandirian. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-3 Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid) yang digelar pada 20-23 Desember 2011 di Hotel Yusro, Jombang, Jawa Timur, KH. Muchtar Mu’thi menegaskan bahwa Orshid harus besar dari dalam, bukan dari luar. Untuk itu, ulama yang akrab dipanggil Kiai Tar itu melarang warga Shiddiqiyyah meminta-minta sumbangan dalam bentuk apa pun, baik untuk keperluan pribadi maupun organisasi. Kiai Tar mengecam upaya meminta-minta itu dengan menyebutnya sebagai “laknatullah”.

“Kalau sampai melanggar, ada di antaranya dari warga Shiddiqiyyah sendiri membuat pelecehan (dengan meminta-minta sumbangan—red), laknatullah, kutukan Allah yang akan dilimpahkan. Ingat, itu pesan saya. Hati-hati. Saya sebagai pemimpinya tidak ikhlas, tidak ridha dunia-akhirat jika sampai ada di antara warga Shiddiqiyyah sendiri membuat pelecehan terhadap kesucian Organisasi Shiddiqiyyah, tidak pandang siapa pun. Saya menghendaki Shiddiqiyyah ini besar dari dalam, bukan dari luar. Itulah sebabnya, Shiddiqiyyah supaya betul-betul gemar menggali sumber-sumber perekonomian agar tidak menjadi umat yang meminta-minta terus. Kan kita malu agama kita meminta-minta terus sambil thek-thek, shalawatan. Ini namanya rusak,” tegas Kiai Tar dalam penutupan Munas Orshid tahun 2011, sebagaimana dikutip oleh Majalah Al-Kautsar.

Baca Juga :   DHIBRA Gelar Santunan Nasional untuk Membangun Kejayaan Indonesia

Ada beberapa hal yang menjadi dasar seruan Kiai Tar. Pertama, doktrin kewajiban berusaha dan bekerja.  Beberapa ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan oleh Sang Mursyid dan disebarkan kepada warga Shiddiqiyyah menunjukkan keharusan manusia untuk berusaha. Misalnya, penafsiran QS. Al-Jumu’ah [62]: 10 dan QS. Al-Ma’un [107]: 1-7. Ayat-ayat tersebut, menurut tafsir Kiai Tar, menunjukkan bahwa ibadah kepada Allah saja tidak cukup untuk menunjukkan kesalehan seseorang, tetapi juga harus dibarengi dengan usaha-usaha yang menunjukkan kepedulian kepada sesama.

Kedua, agama tidak bisa dipisah dari aktivitas kemanusiaan. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengatakan bahwa agama membawa misi rahmat bagi alam semesta. Ketiga, Islam menganjurkan sifat tolong-menolong sesama manusia. Ketika menjelaskan QS. Al-Maidah: 2, yang menyuruh  umat Islam saling tolong-menolong, Sang Mursyid menyatakan bahwa sifat kebersamaan dan tolong menolong merupakan bagian tak terpisahkan dari sifat  takwa. Oleh karena itu, jika ada orang mengaku bertakwa namun dia tidak suka menolong dan peduli sesama, menurut Kiai Tar, dia dianggap tertipu dalam ketakwaannya.

Baca Juga :   Masjid Pesantren HSHF Jadi Tepat Waktu Berkat Akselerasi Mas Bechi dan OPSHID 

Keempat, aktivitas bisnis adalah jihad fi sabilillah. Aktivitas ini, menurut Kiai Tar, merupakan  implementasi laa ilaha illa Allah. Tujuan memperoleh harta semata-mata hanya karena Allah, atau yang sering diistilahkan sebagai jihad fi sabilillah–berjuang  dijalan Allah. Perjuangan di jalan Allah, menurut Kiai Tar, membutuhkan harta yang tidak sedikit. Maka dari itu, para pejuang harus kaya. Pentingnya semangat la ilaha  illah Allah dalam berbisnis dan bekerja menjadi sebuah keniscayaan, karena semangat   tersebut, menurut Kiai Tar, selain memberikan motivasi lebih, juga akan memberikan hasil yang berbeda.

Kelima, jihad ekonomi (jihad iqtishadi) adalah bukti bakti kepada bangsa dan negara. Dalam berbagai pengajian atau mauidhah hasanah-nya, Kiai Tar kerap menandaskan bahwa apa yang dia jalankan tidak hanya berdasarkan sumber-sumber Al-Qur’an dan hadits, namun juga Pancasila dan UUD 1945.

Artikel Terkait

Leave a Comment