samudrafakta.com

Wahai Pendukung Fanatik Capres-Cawapres Jangan Sampai Gila, Simak Tips Sehat Keluar dari Election Stress Disorder

JAKARTA — Hari pencoblosan Pilpres 2024 tinggal menghitung hari. Pemberitaan dan konten media sosial terkait sepak terjang para politisi muncul hampir setiap hari. Saling sindir, saling fitnah, adu argumen para pendukung dan keributan lainnya masih mendominasi media sosial sampai pemilu berakhir.

Rasanya susah kabur dari berita-berita pilpres. Akan lebih lama durasinya, jika Pilpres berlangsung dua putaran. Tak jarang keluarga, sahabat, komunitas, dan tetangga akhirnya terpecah karena membela jagoan politiknya. Situasi ini membuat banyak orang dilanda kecemasan dan stres akibat pemilu. Situasi ini oleh para pakar disebut sebagai “election stress disorder” atau kondisi stres karena politik dan pemilu.

Istilah Election Stress Disorder, selanjutnya ditulis dengan singkatan ESD, dipopularkan pertama kali oleh psikolog asal Washington D.C., Steven Stonsy. Dalam kolomnya di The Washington Post, ia mengaku kewalahan dengan jumlah keluhan yang muncul selama pilpres Amerika Serikat pada 2016. “Berita yang terus-menerus tentang pemilu membuat pasien dan bahkan mengganggu kehidupan pribadi mereka,” tulisnya.

Baca Juga :   Rp555 Triliun Dana PSN Bocor, Diduga Mengalir ke ASN dan Politikus Partai

ESD adalah situasi kondisi mental seseorang yang memburuk karena isu politik menjelang pemilu. Istilah ini bukan diagnosis medis resmi, tapi dialami banyak orang di berbagai negara. “Pemilu adalah peristiwa berisiko tinggi yang memiliki implikasi jangka panjang dan konsekuensi serius,” kata Monifa Seawell, MD, psikiater bersertifikat di Atlanta.

Survei American Psychological Association pada 2016 membuktikan, sebanyak 52 persen orang AS mengatakan bahwa pilpres saat itu adalah sumber stres yang “sangat” atau “agak signifikan” dalam hidup mereka. “Hal ini banyak muncul di media sosial, dengan teman dan anggota keluarga mengatakan hal-hal seperti, ‘Jika Anda tidak memilih, kita bukan teman lagi,’” kata Thea Gallagher, PsyD, direktur klinik di Pusat Perawatan dan Studi Kecemasan di Universitas Pennsylvania.

Dalam penelitian terbaru oleh Timoty Fraser yang dirilis Cambridge University Press, menunjukkan pilpres Amerika Serikat 2020 telah berdampak terhadap gangguan mental masyarakatnya. “Kami memperkirakan bahwa 12,5% dari orang Amerika mengalami gejala yang sesuai dengan kemungkinan diagnosis PTSD terkait pemilu,” sebut penelitian tersebut.

Baca Juga :   Kader PDI Perjuangan 'Tidak Patuh' Pilihan Partai di Pilpres, Caleg Fokus Menangkan Dirinya Sendiri

PTSD atau Post-Traumatic Stress Disorder adalah gangguan mental yang muncul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa yang bersifat traumatis atau sangat tidak menyenangkan.

Dalam banyak kasus, para pemimpin politik juga sangat terpolarisasi yang juga berpengaruh pada pendukungnya. “Kedua belah pihak hampir selalu terlihat saling bertentangan satu sama lain,” ujar Craig A. Smith, PhD, profesor psikologi dan perkembangan manusia di Vanderbilt University di Tennessee. Akhirnya, pemilu sering dianggap sebagai pertarungan penting yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari, mata pencarian, dan nilai budaya yang dianut.

Artikel Terkait

Leave a Comment