Terungkap! Perang Bubat Ternyata Cuma Fiksi Bikinan Kolonial Belanda

Kaum kolonial mengarang peristiwa Perang Bubat untuk memecah-belah Jawa dan Sunda. | ILUSTRASI Samudrafakta
Tak satu pun prasasti atau naskah kuno mencatat Perang Bubat. Sejarawan Agus Sunyoto menyebut kisah ini sebagai fiksi buatan kolonial Belanda untuk mengadu domba dua etnis besar di Nusantara.

__________

Kisah Perang Bubat telah lama hidup dalam benak masyarakat Indonesia. Kisah yang digambarkan sebagai tragedi berdarah antara Majapahit dan Kerajaan Sunda itu bahkan diajarkan di sekolah, dijadikan film, dan sering dijadikan alasan renggangnya hubungan historis antara orang Jawa dan Sunda.

Namun menurut sejarawan Agus Sunyoto (almarhum), semua itu tak lebih dari cerita fiktif yang sengaja disusun oleh kolonial Belanda. Dalam catatan sejarah asli Nusantara, menurut Agus, peristiwa semacam itu tak pernah ada.

Agus menegaskan, tak satu pun prasasti Majapahit atau naskah kuno seperti Pararaton, Nagarakretagama, hingga babad asli yang memuat kisah pembantaian keluarga Sunda di Bubat. Bahkan, dari sisi Sunda, menurut Agus, bukti otentik yang menyebut tragedi serupa juga tak ditemukan.

Bacaan Lainnya

Sumber satu-satunya yang menyebut tragedi Bubat hanyalah Kidung Sunda—sebuah naskah yang baru muncul sekitar tahun 1860, atau lebih dari lima abad setelah Majapahit berdiri. Agus menilai, waktu kemunculan ini mencurigakan, karena bertepatan dengan era kolonial yang sedang gencar mengukuhkan kekuasaannya.

Dari sinilah Agus melihat jejak politik adu domba. Setelah kekalahan telak Belanda dalam Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, mereka sadar bahwa persatuan budaya dan etnis adalah kekuatan utama pribumi. Maka, narasi-narasi pemecah mulai diciptakan.

Kidung Sunda, kata Agus, adalah bagian dari strategi kolonial untuk menanam luka imajiner antara dua kelompok besar: Jawa dan Sunda. Cerita tentang Gajah Mada membantai rombongan Raja Sunda bukan hanya mengaburkan sejarah, tapi juga membentuk permusuhan yang tak berdasar.

Tak berhenti di sana. Pada 1920-an, kolonial menerbitkan versi Serat Pararaton yang menggambarkan Ken Arok—leluhur Majapahit—sebagai anak haram dan pembunuh. Tujuannya sama: mengguncang legitimasi simbol-simbol kejayaan lokal agar masyarakat menjauh dari sejarahnya sendiri.

Menurut Agus, Pararaton versi ini tak dikenal di lingkungan keraton Mataram maupun Pakualaman. Artinya, ia bukan warisan intelektual pribumi, melainkan buatan kolonial untuk menanam keraguan atas identitas bangsa.

“Kita harus hati-hati saat menjadikan naskah kolonial sebagai rujukan utama sejarah,” tegas Agus. “Mereka bukan sekadar mencatat masa lalu, tapi membentuk persepsi yang menguntungkan kepentingan mereka.”

Dampaknya masih terasa hari ini. Di wilayah Sunda, nama-nama seperti Gajah Mada atau Hayam Wuruk nyaris tak ditemukan di jalan-jalan utama. Bukan karena sejarah, tapi karena cerita rekaan yang dijadikan warisan trauma kolektif.

Kini, saatnya membongkar narasi lama dan memulihkan ingatan bangsa. Sejarah yang keliru bukan untuk disimpan, tapi untuk diluruskan. Karena terkadang, musuh paling licik bukan yang menyerang dari depan, melainkan yang menyusup lewat cerita.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *