samudrafakta.com

Sunan Muria (2): Wali Pecinta Lingkungan dan Peruwat Bumi

Masyarakat setempat percaya bahwa pohon-pohon jati tersebut memiliki roh, sehingga merusak dan melukainya diyakini sebagai sesuatu yang tidak patut. Hingga kini pohon-pohon itu dibiarkan terus tumbuh dan dijaga kelangsungannya. Kepercayaan ini sesungguhnya mengandung teladan tentang pentingnya konservasi hutan, agar kesehatan bumi yang kian renta ini tetap terjaga.

Pohon jati keramat peninggalan Sunan Muria. (SF)

Peninggalan Sunan Muria tersebut meninggalkan pesan bahwa ajaran Sunan Muria sarat dengan kesalehan lingkungan. Setidaknya, ada lima bangunan gagasan religius dalam situs-situs tersebut, yakni konsep tauhid lingkungan; fikih lingkungan; tasawuf lingkungan; filaneko religi atau kepedulian terhadap lingkungan, dan akidah muttahidah—yang mana kelimanya merujuk pada hajat pelestarian alam.

Tauhid lingkungan berarti menyadari bahwa pada hakikatnya alam ini adalah bentuk teofani Tuhan yang menjelaskan sifat-sifat-Nya, seperti ke-Esa-an, Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pemberi Rezeki, dan lain sebagainya. Artinya, alam ini sebenarnya sakral dan wajib dijaga.

Fikih lingkungan menerjemahkan prinsip maqashid al syari’ah atau tujuan ditetapkannya syariat, yang menghendaki terwujudnya kemanusiaan berbasis ekoreligi. Sementara tasawuf lingkungan merupakan bangunan etika terhadap lingkungan yang berkembang dari paradigma sufisme; dari religius-teosentris dan antroposentris menjadi religius-ekosentris.

Baca Juga :   Maulana Malik Ibrahim, Bapak Spiritual Wali Songo

Istilah filaneko religi dalam ajaran Sunan Muria bermakna membangun keadilan dan kesejahteraan lingkungan. Atau, dengan kata lain, membangun kedermawanan lingkungan yang pada akhirnya memunculkan konsekuensi logis berupa kontribusi positif terhadap eksistensi nilai-nilai kemanusiaan.

Puncak ajaran Sunan Muria adalah akidah muttahidah. Maksudnya, ibadah tak hanya dimaknasi dalam dimensi mahdhah atau ritual saja, melainkan perlu juga menyentuh persoalan lingkungan. Akidah Islam harus diejawantahkan ke dalam tiga ranah sekaligus, yakni antara manusia, Tuhan, dan alam.

Artikel Terkait

Leave a Comment