“Ketika terjadi serangan langsung lumpuh dan mengganggu layanan publik. artinya masing-masing lembaga itu (bermasalah),” tegas Teguh.
Teguh menilai bahwa kedua lembaga itu selalu kewalahan dan kebingungan ketika terjadi serangan siber yang menyasar data pemerintah. Kondisi ini, menurut Teguh, membuktikan bahwa belum adanya tindakan penegakan serius yang dilakukan oleh pemerintah untuk menangani kerentanan sistem data.
“Kita memang belum punya blueprint (untuk menangani serangan siber) sampai sekarang. Misalnya, ketika terjadi serangan, apa yang harus dilakukan? Manajemen krisisnya kita belum punya,” ungkap Teguh
Semestinya, menurut Teguh, pemerintah menyiapkan pusat data cadangan alias backup data center sebagai upaya preventif agar insiden seperti ini tidak terjadi.
Dia juga menyarankan Kemenkominfo dan BSSN melakukan peninjauan ulang dan perbaikan sistem sehingga dapat mengantisipasi serangan siber ke depan.
Sementara itu, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Usman Kansong, menegaskan pihaknya telah mempelajari setiap kasus peretasan lembaga pemerintah untuk menguatkan sistem pertahanan data. Tujuannya, menurut Usman, agar serangan serupa tak terjadi lagi.
“Saya pikir perlindungan data, peningkatan perlindungan data, perlindungan siber, ini adalah upaya yang terus menerus. Tidak boleh berhenti,” katanya, sebagaimana dilansir BBC News Indonesia.
Usman mengakui jika serangan siber sulit diberantas karena teknologi terus berkembang. Kata dia, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis pun juga masih kesulitan memberantas serangan siber.
Dia juga menyebut bahwa strategi pemerintah menyatukan semua data menjadi satu pusat data nasional adalah, “salah satu upaya untuk lebih melindungi meningkatkan pertahanan siber”. Tetapi, buktinya, tetap saja kebobolan.*