samudrafakta.com

Budidaya Ikan Nila Salin: Potensi Ekspor Indonesia yang Menggiurkan

Waktu panen ikan nila salin lebih cepat dari ikan nila air tawar. Umumnya ikan nila dipanen 4-6 bulan, sedangkan nila salin memiliki waktu panen sekitar 3 bulan. Foto:Tangkapan Layar Trubus.id

KARAWANG — Dua primadona baru muncul dalam industri perikanan Indonesia, melengkapi kesuksesan model budi daya tambak udang vaname yang telah terlebih dahulu diakui. Meresmikan model budi daya ikan nila salin, pemerintah menegaskan posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam pasar ekspor global.

Dengan kondisi geografisnya yang menguntungkan, Indonesia memperoleh peluang besar untuk mengembangkan budidaya ikan di daerah pesisir, menjadikannya pusat perhatian dalam upaya meningkatkan produksi perikanan.

Ikan nila, yang sebelumnya sudah menjadi salah satu primadona ekspor bersama dengan udang vaname, kini memiliki varietas baru yang lebih unggul, yaitu nila salin. Varian ini, dikembangkan dari spesies nila air tawar, mampu menoleransi kadar salinitas air yang lebih tinggi, hingga di atas 20%. Kekuatan adaptasi nila salin inilah yang menjadi daya tarik utama bagi para petani dan investor.

Menyadari potensi besar yang dimiliki oleh ikan nila salin, pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis untuk memajukan sektor ini. Operasional modeling kawasan tambak BINS di Karawang tidak hanya menjadi langkah awal, tetapi juga menjadi representasi nyata dari komitmen pemerintah dalam meningkatkan produksi dan ekspor ikan nila salin.

Baca Juga :   Kontroversi Kratom: Presiden Berencana Membudidayakannya, BNN Menganggapnya sebagai Ancaman

Presiden Joko Widodo seperti dilansir Indonesia.go.id,  menyatakan keyakinannya bahwa tambak ikan nila salin dengan infrastruktur modern dapat menjadi lokomotif industrialisasi nila salin di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk menjawab tingginya permintaan ikan nila di pasar domestik maupun global.

Melalui modeling kawasan tambak BINS, pemerintah tidak hanya berharap dapat meningkatkan produksi ikan nila salin, tetapi juga menyerap banyak tenaga kerja. Dengan luas lahan 80 hektare dan total produksi yang dicanangkan mencapai 7.020 ton per tahun, proyek ini menjanjikan kontribusi ekonomi yang signifikan bagi masyarakat setempat maupun negara secara keseluruhan.

Dikutip dari laman deheus.id, Nila salin mampu menoleransi kadar salinitas air hingga >20% dengan memanfaatkan karakter euryhaline yang dimiliki oleh ikan nila. Euryhaline merupakan organisme yang dapat beradaptasi pada salinitas yang luas. Ikan yang memiliki karakter ini mampu hidup pada air laut, air payau dan air tawar.

Ikan nila salin yang telah dikembangkan di Indonesia memiliki nama komersil nila SALINA (Saline Tolerance Indonesian Tilapia). Pertama kali dikembangkan pada tahun 2013, ikan ini telah banyak berkembang dan digunakan untuk memanfaatkan lahan-lahan yang tidak digunakan pada daerah pesisir yang sebelumnya kurang cocok untuk budidaya ikan air tawar.

Baca Juga :   Kontroversi Kratom: Presiden Berencana Membudidayakannya, BNN Menganggapnya sebagai Ancaman

Badan Riset dan Inovasi Nasional menyebut ikan nila salina penting untuk mendukung ketahanan nasional, serta untuk pemanfaatan lahan tambak marjinal dimana luasnya mencapai 30-40% dari 1,2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Artikel Terkait

Leave a Comment