samudrafakta.com

Apa Iya Iktikaf di Akhir Ramadhan Harus 10 Hari Penuh? 

Suasana itikaf di Masjid Istiqlal Jakarta, Kamis (28/3/2022). FOTO: ANTARA/Asep Firmansyah
JAKARTA—Biasanya, tiap bulan Ramadhan memasuki pekan-pekan terakhir, banyak masjid di berbagai wilayah di Indonesia menyelenggarakan kegiatan iktikaf. Biasanya ritual ini dikerjakan selama 10 malam terakhir Ramadhan secara berturut-turut. Harus selama itu, ya?

Iktikaf adalah salah satu ritual ibadah umat Islam, di mana seseorang tinggal atau berdiam serta mengisolasi diri di dalam masjid. Iktikaf diyakini sebagai salah satu amalan yang memiliki nilai istimewa di bulan Ramadhan. maka dari itulah banyak umat muslim yang berlomba menghabiskan 10 malam terakhirnya di bulan Ramadhan di dalam masjid-masjid.

Fenomena ini pun akhirnya mendorong pengelola untuk mendesain ulang masjid, baik dari segi tampilan fisik maupun non-fisik berupa kebijakan dan tata kelola. Mereka menjadi event organizer (EO) yang menyediakan aneka fasilitas dan pelayanan dalam paket-paket kepada para peserta iktikaf—terutama yang berniat diam di masjid selama 10 malam. Ada juga layanan kelas VVIP.  

Para EO syar’i dadakan tersebut menyediakan paket penginapan—bisa di kamar di area masjid bagi masjid yang sudah memiliki kamar—makan sahur dan buka, takjil,  binatu pakaian hingga keperluan pribadi lainnya.

Baca Juga :   Optimalkan UMKM, Pemkot Surabaya Sediakan Paket Hampers Lebaran di Surabaya Kriya Gallery

Aneka layanan jasa di atas bertarif sesuai dengan paket yang diambil oleh jamaah ini pada akhirnya dapat mendatangkan keuntungan komersil. Fenomena ini berlangsung karena adanya pemahaman jika iktikaf harus full selama 10 hari.  

Memang harus, ya, iktikaf dilakukan selama 10 hari penuh?

Jumhur (mayoritas) ulama, termasuk keempat mazhab utama, sepakat bahwa berada atau menetap di dalam masjid—atau al-lubsu fil masjidmerupakan rukun iktikaf. Namun, yang menjadi titik perbedaan pendapat adalah masalah durasi minimal, sehingga keberadaan di masjid itu sah berstatus iktikaf.

  • Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah

Mazhab Al-Hanafiyah menegaskan bahwa durasi minimal untuk beriktikaf adalah sa’ah, baik di siang hari atau malam hari.

Istilah sa’ah, dalam bahasa Arab modern, bermakna satu jam atau 60 menit. Pengertian modern ini berbeda dengan istilah yang digunakan para ulama di masa lalu, yang memaknainya sebagai ”sesaat”, “sejenak”, atau “sebentar”.

Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu mencatat bahwa menurut Mazhab Hanafiyah, iktikaf cukup dilakukan sebentar, tanpa ada batasan minimal.

Baca Juga :   Kolak, Menu Berbuka Puasa Ciptaan Wali Songo yang Sarat Filosofi

Sekadar diam sejenak dengan berniat iktikaf pun, menurut Wahbah Zuhaili, seseorang sudah bisa dikatakan iktikaf. Kendati sambil jalan melewati dalam masjid pun sudah sah, asal sudah diniatkan iktikaf.

Intinya, menurut pendapat ini, iktikaf bisa dilakukan kapan saja dan tidak disyaratkan dilakukan dengan puasa. Sedang untuk iktikaf nazar, disyaratkan puasa.

Mazhab Al-Hanabilah relatif memiliki pendapat yang sama dengan mazhab Al-Hanafiyah dalam hal durasi minimal iktikaf.

  • Al-Malikiyah

Para ulama di dalam mazhab Al-Malikiyah agak sedikit berselisih tentang durasi minimal iktikaf. Sebagian mereka menetapkan bahwa durasi minimal adalah sehari semalam tanpa putus.

Rangkaiannya dimulai dari sejak masuk waktu malam, yaitu terbenamnya matahari, melalui malam, hingga terbit matahari, pagi, siang, lalu sore dan berakhir ketika matahari kembali terbenam di ufuk Barat.

Sebagian lagi mengatakan bahwa durasi minimal untuk beriktikaf adalah sehari tanpa malamnya. Artinya, sehari itu dimulai dari masuknya waktu Subuh, melewati pagi, siang, sore, lalu berakhir dengan masuknya waktu Margrib kala matahari terbenam.

Mazhab Malikiyah juga mensyaratkan puasa dalam iktikaf. Menurut mazhab ini, barang siapa yang melakukan iktikaf tanpa puasa, maka iktikaf tidak sah.

Baca Juga :   Sambutlah Ramadhan dengan Senyum dan Sehat Fisik serta Mental 
  • Asy-Syafi’iyah

Mazhab Asy-syafi’iyah tidak memberikan batasan durasi minimal untuk beriktikaf. Menurut mazhab ini, asalkan seseorang telah berada di dalam masjid, walaupun tidak harus dalam posisi berdiam di satu titik, misalnya berjalan kesana-kemari, sudah termasuk beriktikaf.

Namun, bila orang sekadar berjalan melewati bagian dalam masjid dan menjadikan masjid sebagai jalan tembus, maka tidak sah untuk diniatkan sebagai iktikaf. Minimal harus berhenti sejenak, walaupun tidak harus berdiam diri.

Menurut mazhab Syafi’iyah, syarat sah iktikaf adalah seseorang menetap dalam masjid sebentar. Kira-kira melebihi waktu tumakninah dalam rukuk.

Namun, mazhab ini menegaskan bila seseorang beriktikaf sehari, maka hukumnya mandub. Alasannya, karena Rasulullah Saw. tidak pernah melakukan iktikaf kecuali minimal berdurasi sehari.

_______

Jadi, jelas ya, iktikaf tidak harus 10 hari penuh. Sumber-sumber rujukannya jelas. Namun demikian, bagi yang ingin mengerjakannya selama sepuluh hari berturut-turut, itu tidak masalah. Silakan.

Selama itu tidak malah menjadi beban di akhir Ramadhan.

Artikel Terkait

Leave a Comment