samudrafakta.com

Aktivis Lingkungan Rentan Kriminalisasi, Mahfud MD Janjikan Pengakuan sebagai Subjek Hukum

JAKARTA—Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut tiga, Mahfud MD, menjanjikan aktivis lingkungan bakal diakui sebagai subjek hukum untuk mencegah kriminalisasi mereka. Janji ini untuk menindaklanjuti maraknya fenomena kriminalisasi terhadap aktivis tersebut, ketika mereka menyuarakan asipirasi terkait kerusakan lingkungan.

Mahfud menyampaikan janjinya pada Debat Cawapres yang digelar di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta Pusat, Ahad (21/1/2024), dengan tema pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa, hanya

Untuk diketahui, berdasarkan data Auriga Nusantara—sebuah organisasi nonprofit yang fokus pada upaya konservasi alam dan lingkungan Indonesia—tercatat setidaknya ada 133 tindakan ancaman atau SLAPP (Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation) terhadap Pembela Lingkungan di Indonesia sepanjang tahun 2014-2023.

“Meningkatnya ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia seolah meniru praktik buruk yang sedang terjadi di banyak negara di dunia. Global Witness mencatat, dalam 2012-2022 telah terjadi setidaknya 1.910 kasus pembunuhan terhadap Pembela Lingkungan di dunia,” tulis Auriga dalam rilisnya, Jumat (19/1/2024) pekan lalu.

Baca Juga :   Capres-Cawapres 2024 Mendadak K-Pop

Dari 133 kasus SLAPP tersebut, sebagaiman ditulis Auriga, jenis ancaman yang paling banyak adalah kriminalisasi, yakni sebanyak 82 kasus. Disusul kekerasan fisik dengan 20 kasus; intimidasi 15 kasus; dan pembunuhan 12 kasus.

Sementara itu, jika dilihat dari sektornya, tindakan SLAPP paling banyak menyasar aktivis yang memperjuangkan hak asasi lingkungan di sektor tambang dan energi, yakni sebanyak 60 kasus. Auriga menilai, kriminalisasi masih menjadi momok karena sedemikian lebarnya kewenangan penyidik kepolisian. Bahkan, tidak ada kewajiban bagi penyidik untuk memastikan setiap tersangkanya masuk peradilan.

Pada periode 2014-2023 itu, sebagaimana dicatat oleh Auriga, setidaknya 13 aktivis lingkungan dibunuh karena aktivitas pembelaannya terhadap lingkungan. Mereka adalah Maradam Sianipar, Martua Siregar, Golfrid Siregar, dan Erni Pinem di Sumatera Utara; Jurkani dan Sabriansyah di Kalimantan Selatan; Indra Pelani di Jambi; Yopi Perangiangin di Jakarta; Salim Kancil di Jawa Timur; Gijik di Kalimantan Tengah; Erfaldi Erwin Lahadado di Sulawesi Tengah; Arman Damopolii di Sulawesi Utara; dan Marius Batera di Papua.

Baca Juga :   Ada Kiai Langitan dan Kakak Gus Baha di Timnas AMIN

Sementara itu, menurut catatan Amnesty Internasional, Sepanjang Januari 2019 — Mei 2022, setidaknya terjadi 328 kasus serangan fisik dan digital terhadap pembela HAM, dengan setidaknya 834 korban di Indonesia—termasuk aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Sedangkan menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ratusan pembela lingkungan menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2014-2023. Tercatat total korban mencapai 827 orang. Dari jumlah tersebut, 6 orang meninggal, 145 ditangkap, 28 tersangka, 9 anak-anak, 19 perempuan, serta 620 orang luka-luka mulai ringan hingga berat akibat kekerasan aparat.

Manajer Kampanye Hutan dan Pertanian Walhi, Uli Arta Siagian mengatakan mereka dikriminalisasi lantaran menolak proyek-proyek dari pemerintah yang berpotensi merusak lingkungan.

“Secara umum ketika aktivis menyatakan vetonya dalam menolak, misalnya, kebijakan, undang-undang ataupun proyek-proyek yang masuk ke suatu wilayah atau ruang hidupnya, itu yang jadi dasar mereka dikriminalisasi. Intinya karena mereka menolak suatu kebijakan atau proyek pembangunan, itu yang menjadi dasar pengurus negara mengkriminalisasi,” ucap Uli dikutip dari kbr.id, Selasa, (16/1/2024).

Baca Juga :   Media Asing Sebut Gibran ‘Nepo Baby’, Apa Maksudnya?

Uli menjelaskan ada beragam pasal yang digunakan otoritas untuk mengkriminalisasi para pembela lingkungan hidup yang menentang proyek pembangunan. Salah satunya Pasal 162 Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Isinya menjelaskan tentang tindakan menghalang-halangi kegiatan usaha pertambangan sebagai perbuatan pidana. Lewat pasal itulah pejuang lingkungan hidup bisa diproses hukum.

“Di sektor perkebunan misalnya ada pasal soal menguasai lahan yang bukan miliknya, terus kemudian di Desa Pakel, dijerat dengan Pasal Ketertiban. Itu beberapa dasar hukum yang digunakan aparat penegak hukum untuk menjerat aktivis lingkungan,” jelas dia.

Artikel Terkait

Leave a Comment