samudrafakta.com

26 Tahun Runtuhnya Orde Baru: Amnesty International Menilai Reformasi 98 Putar Balik

Acara People's Water Forum 2024 di Denpasar diintimidasi massa PGN. Foto:AI/YLBHI

Peristiwa kerusuhan Mei 1998 khususnya perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dan pembakaran warga sipil hingga kini belum diusut tuntas. Tragedi kerusuhan di Jakarta dan beberapa kota selama 13-15 Mei 1998 menimbulkan dampak serius bagi korban dan warga masyarakat secara luas dengan memakan korban lebih dari seribu jiwa. Namun siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu masih belum diusut tuntas.

Juga terjadi kekerasan seksual yang sebagian besar ditujukan terhadap perempuan Tionghoa selama kerusuhan Mei 1998. Menurut catatan Amnesty International, pada Juni 1998, Tim Relawan untuk Kemanusiaan merilis laporan yang mengklaim bahwa 168 perempuan — sebagian besar di antaranya adalah etnis Tionghoa — diperkosa dan/atau mengalami pelecehan seksual selama kerusuhan pada Mei 1998.

“Pengungkapan kasus perkosaan massal ini masih samar. Apa yang terjadi? Siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Selain merugikan korban secara fisik, kasus ini juga merusak kehormatan secara emosional dan psikologis,” kata Usman.

“Pelaku kekerasan, pemerkosaan, dan pembakaran selama kerusuhan, terutama dalang-dalangnya, harus diadili. Kegagalan negara dalam mengusut kasus ini akan memperkuat ketidakadilan dan menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia bisa terjadi tanpa konsekuensi.”

Baca Juga :   Reformasi 1998 (3-Habis): Tragedi Trisakti Tumbal Peluru Tajam Orde Baru

“Hal ini tidak hanya merampas hak setiap individu untuk hidup aman, tetapi juga menciptakan rasa takut dan trauma yang berkelanjutan, khususnya bagi warga Tionghoa,” lanjutnya.

Begitu pula dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya. Hingga kini, langkah konkret dari pemerintah, dalam hal ini Kejaksaan Agung, untuk mengusut kasus-kasus tersebut masih belum terdengar. Begitu pula masih banyak pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat yang belum terpenuhi.

Situasi ini menebalkan kekhawatiran bahwa pemerintah selama ini tidak menunjukkan komitmen penuh dalam menyelesaikan kasus-kasus  pelanggaran HAM berat. Akhirnya ini memperkuat kesan bahwa negara selama ini tidak menjadikan masalah HAM sebagai prioritas dibandingkan isu-isu lain.

Artikel Terkait

Leave a Comment