samudrafakta.com

Sumpah Mubahalah: Simbol Perlawanan ‘Top Level’ Melawan Dusta dan Fitnah

Ilustrasi: SF.

Saran

Ilustrasi: SF.

Terkait bagian akhir QS. Ali-Imran: 61: “Dan meminta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta,” penulis mempunyai penafsiran tersendiri. Pesan mendasar ayat ini justru pada tidak bolehnya siapa pun berdusta, bohong, atau tidak jujur. Mubahalah dilakukan karena diyakini ada dusta. Sementara, dusta (kadzib) di sini bersifat umum (‘am). Bahwa dalam konteks sejarah mubahalah terkait keagamaan, bukan berarti tidak boleh dilakukan pada perkara di luar keagamaan. Dusta atau bohong itu bersifat generik, bisa dusta dalam soal agama, politik, hukum, ataupun lainnya. Pesan penting mubahalah justru bukan soal kebenaran akidah an sich, tetapi pada tidak bolehnya siapa pun berdusta, berbohong, atau tidak jujur (tidak adil).

Mohon maaf jika penafsiran penulis terlalu berani dan ‘sekuler’.

Meskipun dalam hukum positif—KUHP dan KUHAP, yang mana kedua kitab keramat penegak hukum Indonesia ini adalah warisan Pemerintah Hindia Belanda—tidak dikenal mubahalah, namun mubahalah bisa menjadi lebih dari sekadar perlawanan simbolik terhadap kekuatan lalim nan hegemonik yang mengintervensi penegakan hukum dan keadilan.

Spirit mubahalah bisa dipahami sebagai pesan moral bagi publik dan penegak hukum untuk tidak boleh dusta, serampangan, mengangkangi fakta persidangan, dan norma yuridis dalam menegakkan hukum. Melalui mimbar bebas ini, penulis mengusulkan ide yang agak ‘nakal’, dan meski ini sulit: Bagaimana jika di dalam teks sumpah sumpah hakim, jaksa, saksi, terdakwa, dan pembela hukum yang dibacakan sebelum sidang dimulai ditambahkan kandungan semangat dan spirit mubahalah?  Misal:

Wallahi (atau demi Allah) saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain dari pada yang sebenarnya.”

Sebagai pelengkap, barangkali perlu ditambahkan:

“…dan apabila saya melakukan atau menyampaikan kebohongan, dusta, fitnah, menuntut tidak sesuai fakta, memutus tidak berdasarkan keadilan, melanggar sumpah jabatan, dan seterusnya seterusnya, keluarga saya, anak saya, dan keturunan saya siap menerima azab, kutukan, hukuman dari-Mu. Tetapi, apabila yang saya lakukan benar maka limpahkan pertolongan dan perkenan (taufiq)-Mu.

Karena mubahalah mensyaratkan harus ada dua pihak yang bertikai/berseberangan, maka harus ada satu “pihak” lain sebagai katalisator: hati nurani. Beranikah Anda melawan dan mengingkarinya?

Gusti Allah Maha Menghakimi. Barangkali, sumpah mubahalah yang diterapkan di sidang pembuktian, dipraktikkan dalam pengucapan sumpah jabatan para penegak hukum dan keadilan, bisa menjadi ikhtiar alternatif bagi semua pihak, baik pihak berperkara yang terindikasi dikriminalisasi dan diadili secara naratif, dan juga para penegak hukum di pengadilan, demi terciptanya keadilan hukum untuk seluruh masyarakat. Selain itu juga untuk mewujudkan sistem dan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, tanpa ada proses banding, kasasi, peninjauan kembali, apalagi sampai eksaminasi publik.

Akhirul kalam, Hamka, Sang Ulama-Pujangga pernah dawuh: “Adil ialah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di atasnya. Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian.”*

————-

Penulis:

Faried Wijdan al-Jufry

Penulis, Sarjana Hukum Syariat, dan Pengamat Apa Saja

 

 

 

Leave a Comment