samudrafakta.com

Sukarno dan Kuliner (1): Menerapkan Politik Pangan sebagai Manifesto Cinta terhadap Kuliner Indonesia

Presiden Sukarno juga begitu menggemari masakan di Rumah Makan Madrawi. Sate, soto, gulai, rawon, kerap disantapnya sejak masih kuliah di ITB. Karena cita rasanya yang sudah teruji, maka Sukarno berani memperkenalkan menu sate, soto dan rawon dari rumah makan tersebut kepada para tamu negara.

Menurut JJ Rizal, Keseriusan Sukarno terhadap politik kuliner semakin menjadi ketika dirinya menjalankan saran dari Sunardjo, seorang ahli makanan dari Lembaga Makanan Rakyat dan B. Napitupulu dari Akademi Pendidikan Nutrisionis. Kedua tokoh itulah yang berusaha untuk mencari data dan fakta yang dapat menandingi temuan FAO dalam sebuah laporan yang berjudul Production Yearbook FAO pada tahun 1958.

Dalam laporan tersebut, FAO menyatakan bahwa Indonesia memiliki persediaan pangan yang rendah. Temuan FAO itu kemudian menyulut Sukarno untuk mencari strategi agar bangsa Indonesia dapat dipandang secara politis sebagai bangsa yang makmur dan kaya dari segi ketahanan pangannya.

Production Yearbook FAO sejatinya hanya mengulas produk pangan yang jenisnya sangat umum diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah massal. Kecukupan stok beras yang dimiliki oleh Indonesia menjadi perhatian utama FAO untuk mengkritik pemerintahan Sukarno yang mereka sebut tidak becus dalam menyediakan kebutuhan pangan yang cukup bagi rakyatnya.

Baca Juga :   Prediksi-Prediksi Sukarno yang Terbukti (1): Prediksi Tahun Kemerdekaan Indonesia melalui Naskah Tonil dan Perang Asia-Pasifik

Momentum inilah yang mendasari Sukarno memulai proyek politiknya untuk memproduksi Mustikarasa sebagai alat tanding untuk menunjukkan jika Indonesia adalah negara yang kaya akan pangan dan tidak melulu makan nasi sebagai panganan pokok.

Melalui penandatanganan memo 98/Kabmen pada 12 Desember 1960 yang dilakukan oleh Menteri Pertanian saat itu, Brigjen. Dr. Azis Saleh yang ditunjukan kepada Sekretaris Djendral Pertanian, proyek untuk membuat buku Mustikarasa resmi dimulai. Di sinilah impian politik terbesar dari pemikiran Sukarno, yakni menciptakan self-reliance atau percaya kepada kekuatan sendiri dan self-supporting atau swadaya dalam memanfaatkan bahan pangan yang ada. Self-reliance dan self-supporting menjadi dua misi Sukarno untuk mencari panganan pokok alternaltif yang dapat berfungsi sebagai pengganti beras sebagai makanan pokok.

Artikel Terkait

Leave a Comment