samudrafakta.com

Membangun Hati, Melawan Narkolema

Daya Rusak Pornografi

Menurut ahli bedah otak dari Amerika Serikat, dr. Donald Hilton Jr, pornografi termasuk jenis penyakit. Pasalnya, tontonan seperti itu mengubah struktur dan fungsi otak. Dengan kata lain, pornografi merusak otak.

Ketika seseorang memasukkan muatan porno ke dalam otaknya, menurut dr. Hilton, bakal terjadi perubahan fisiologis pada dirinya. Kerusakan yang dihasilkannya sangat dahsyat. Bila kecanduan narkoba “hanya” merusak tiga bagian otak, menurut dr. Hilton, konsumsi pornografi secara terus-menerus bakal merusak lima bagian otak.

Pada otak manusia ada bagian penting bernama pre frontal cortex atau PFC. Bagian ini berfungsi sebagai pusat pertimbangan dan pengambil keputusan. Tempatnya di bagian otak paling depan, dekat tulang dahi. PFC hanya ada pada manusia, tidak ada pada binatang. Dan berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa PFC mudah rusak karena berbagai sebab, antara lain benturan fisik, zat kimia, narkotika, dan pornografi.

Ketika seseorang mengakses hal berbau porno, sistem limbik pada otaknya—yang mengatur emosi, makan, minum dan naluri seksual—akan mengaktifkan zat kimia dopamine yang memberi rasa senang, penasaran, dan kecanduan. Dopamine ini juga bakal aktif jika seseorang mengonsumsi narkoba. Pornografi yang dikonsumsi secara terus-menerus pada akhirnya menyebabkan seseorang kelebihan dopamine, yang kemudian merusak PFC-nya. Akibatnya seseorang bisa menjadi bipolar dan mengalami skizofrenia atau halusinasi.

Baca Juga :   Rohaniawan Lintas-Agama Bersama-Sama Berdoa agar Pemilu Berjalan Damai

PFC adalah “manajer” otak. Dia adalah pusat logika yang berfungsi untuk membandingkan hal baik dan buruk, mengontrol emosi, mengambil keputusan, konsentrasi, merencanakan masa depan, dan empati. Menurut peneliti otak Jordan Grafman, dengan PFC lah manusia memahami benar-salah, mengendalikan diri, berpikir kritis, dan merencanakan masa depan. Jika PFC rusak, semua fungsi tersebut tidak akan berfungsi dengan baik.

Pornografi juga membentuk pergeseran emosi dan perilaku sosial masyarakat. Menurut Prof. Victor B. Cline, peneliti psikososial, ada empat tahapan perkembangan kecanduan seksual di kalangan konsumen pornografi. Pertama, adiksi, yaitu ketagihan atau kecanduan setelah menikmati tontonan porno. Kedua, eskalasi, yaitu peningkatan kualitas ketagihan menjadi perilaku seksual menyimpang—misalnya seks disertai kekerasan, hingga beraktivitas seksual dengan hewan, bahkan mayat.

Ketiga, desensitivasi, yaitu menipisnya sensitivitas. Pecandu kian permisif dan kebal dengan segala sesuatu berbau porno, karena menganggapnya sebagai hal yang lumrah. Terakhir, keempat, acting out, yaitu dorongan untuk mempraktikkan apa yang selama ini mereka konsumi, dengan mencari pasangan bersetubuh untuk melakukan adegan-adegan yang disukai dari produk-produk porno yang ditonton.

Baca Juga :   Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan Lahirnya NKRI adalah Dua Momen Berbeda yang Wajib Diperingati

Dampak yang ditimbulkan pornografi juga sangat beragam, mulai dari penyebaran penyakit seksual seperti HIV/AIDS hingga munculnya perilaku seksual menyimpang. Konsumen pornografi bakal mengalami gangguan konsentrasi, kemampuannya dalam menimbang benar dan salah bakal berkurang, serta kemampuannya untuk mengambil keputusan terus menurun. Pada beberapa orang, kecanduan pornografi bisa memunculkan anggapan jika pernikahan bukanlah hal penting, karena mereka menganggap bahwa seseorang hanyalah subjek seksual.

Narkolema Permainan Daring

Selain pornografi, permainan daring atau game online juga bisa dikategorikan sebagai narkolema. Pasalnya, menurut berbagai studi, permainan berbasis internet ini dapat menyebabkan kecanduan, respons tidak normal, yang berujung pada gangguan psikis seseorang, di mana bisa menimbulkan kondisi emosional yang dapat memicu tindakan agresif.

Menurut psikolog sekaligus Kepala Pusat Layanan Psikologi Pradnyagama Retno I.G. Kusuma, pecandu permainan daring—terutama anak-anak—bakal mengadaptasi perilaku karakter yang dimainkannya. “Ketika anak kecanduan game online dengan tema tindak kriminal, misalnya, saat karakter yang dia mainkan harus membeli senjata dan sebagainya, tetapi kekurangan duit, lalu membobol ATM, menipu, maka anak yang memainkannya akan mengadaptasi perilaku tersebut,” kata Retno.

Sementara itu, Elly Risman, pakar psikologi parenting, pernah melakukan penelitian terhadap anak berumur 12 tahun yang kecanduan permainan online dan mendapati temuan mengejutkan.

Baca Juga :   Mau Anak Anda Sukses? Jangan Katakan 4 Kalimat Ini Padanya!

“Saya meneliti 30 anak, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Studi ini untuk meneliti otak bagian depan (PFC—red) yang menjadi ‘direktur’ seluruh otak. Di situlah pengetahuan dan pemahaman tentang iman dan akhlak berada,” kata Elly

Anak-anak yang menjadi sampel penelitian menjalani berbagai tes menggunakan alat bernama Electro Encephalo Graph (EEG). Alat ini merekam aktivitas elektrik di bagian kulit kepala, untuk mengukur fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak.

Dari tes tersebut, menurut Elly, didapati ada 15 anak yang kecanduan konten daring. Dan ternyata, otak anak-anak yang terpapar ini berada di gelombang delta. “Gelombang delta itu slow, tetapi membuat anak jadi impulsif. Artinya, anak akan merengek bila tak diberi yang dia inginkan,” kata Elly.

“Lalu, sebagian sudah di gelombang gama. Jadi kompulsif. Artinya, itu anak minta tambah lagi, tambah lagi (main game online). Disetopnya (sulit) setengah mati. Kalau anak seperti itu, kemungkinan ada yang terganggu dengan otak depannya, yang fungsinya itu tadi, moral,” jelasnya.

Terbukti sudah secara ilmiah bahwa narkolema adalah ancaman yang sangat serius.

Artikel Terkait

Leave a Comment