samudrafakta.com

Memahami Sejarah Kemerdekaan untuk Hindari Dosa Politik

Mortivasi Spiritual

Kutipan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 sejatinya mengandung motivasi spiritual, yaitu kesadaran dan pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya hasil perjuangan rakyat semata, namun juga karena rahmat Allah Swt. Kesadaran tersebut menggambarkan pandangan hidup Bangsa Indonesia yang menginginkan keseimbangan dalam kehidupan.

Menurut Kiai Tar, frasa “Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”—Tarekat Shiddiqiyyah biasa menuliskannya, “Atas Berkat Rochmat Alloh Yang Maha Kuasa”—merupakan pernyataan yang timbul dari keimanan. Jiwa keimanan itulah, menurut Kiai Tar, yang menjadi jiwa seluruh agama. Sedangkan frasa “dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas” adalah pernyataan yang timbul dari jiwa kebangsaan. Manunggalnya jiwa keimanan dan jiwa kebangsaan itulah, menurut Kiai Tar, yang disebut sebagai jati diri Bangsa Indonesia.

Pada 21 Juni 1978, sebagaimana dikutip Majalah al-Kautsar Edisi 124, 18 September 2016, halaman 21, Sang Mursyid mengeluarkan seruan: “Sebagai Bangsa Indonesia umumnya, warga Shiddiqiyyah khususnya, wajib syukur kepada Allah Ta’ala dan hendaklah membuat peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus itu. Karena membuat peringatan itu menurut Al-Qur’an bermanfaat.”

Bagi warga Shiddiqiyyah—tarekat ini menggunakan istilah “warga” bagi para pengikutnya—penetapan tanggal 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan hari Jumat legi, 9 Ramadhan 1365 H, sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia bukanlah suatu kebetulan. Ada makna mendalam di balik waktu tersebut, yang umumnya tidak dipahami oleh kebanyakan orang—bahkan oleh para pemimpin negeri saat ini.

Baca Juga :   Gara-Gara "Disleksia", Kebumen Dijuluki "Kota Lawet"

Angka 17 adalah jumlah rakaat shalat lima waktu dalam satu hari. Angka 17 juga merupakan tanggal diturunkannyanya Al-Qur’an oleh Allah pada bulan Ramadan—bulan di mana Bangsa Indonesia mendapatkan karunia kemerdekaan. Selain itu, 17 Agustus 1945 juga bertepatan dengan hari Jumat legi, yang diyakini sebagai sebaik-baik hari (sayyid al-ayyam), dan juga berada di sepertiga awal bulan Ramadan, waktu di mana Allah melimpahankan rahmat-Nya.

Dengan alasan itulah pembukaan UUD 1945 diawali dengan frasa “Atas Berkat Rahmat Allah”, karena pendiri negeri berkeyakinan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah salah satu rahmat terbesar Allah kepada bangsa Indonesia. Maka dari itulah warga Shiddiqiyyah tidak hanya memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus, tapi juga setiap tanggal 9 Ramadhan.

Dosa Besar Politik

Menurut pandangan Tarekat Shiddiqiyyah, ada sebuah tradisi keliru dan istilah galat yang terus berulang di tengah masyarakat Indonesia yang berlangsung hingga sekarang, yaitu menyebut tanggal 17 Agustus sebagai “Hari Kemerdekaan Republik Indonesia”. Padahal, menurut ajaran Tarekat Shiddiqiyyah, tanggal 17 Agustus 1945 adalah “Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia”, bukan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Tarekat Shiddiqiyyah sangat concern dan hati-hati dalam menggunakan istilah-istilah yang berkaitan dengan sejarah. Sebab, kesalahan penggunaan istilah bisa berakibat pada pengaburan realitas sejarah itu sendiri. Misalnya frasa “Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia” atau “Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia”. Ungkapan ini, menurut Kiai Tar, tidak sesuai dengan fakta sejarah. Sebab, pada tanggal 17 Agustus 1945 NKRI belum terbentuk. NKRI baru terbentuk keesokan harinya, 18 Agustus 1945. Adapun 17 Agustus 1945 adalah Hari Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia, bukan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Baca Juga :   Wafat di Usia 69 Tahun, Ini Profil KH. Abdullah Munif Pengasuh Ponpes Langitan Tuban

Menurut Kiai Tar, penyebutan 17 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia sama halnya dengan mengingkari dua nikmat besar dari Allah Ta’ala. Sebab, faktanya, menurut Kiai Tar, NKRI tidak pernah dijajah oleh siapa pun. Yang dijajah selama 434 tahun itu—terhitung sejak Portugis menguasai Malaka tahun 1511—bukan Republik Indonesia, namun Bangsa Indonesia.

Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat tidak pernah dijajah. Yang dijajah selama tiga abad lebih adalah Bangsa Indonesia, dalam pengertian sekelompok manusia yang memiliki kesamaan identitas bahasa, budaya, agama dan sejarah. Negara secara definitif baru terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan ditetapkannya Sukarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia.

Bagi warga Shiddiqiyyah, pelurusan sejarah ini sangat penting. Sebab, untuk membangun Indonesia di masa depan, seseorang harus berpijak pada apa yang telah dilakukan pendahulunya pada masa lalu. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hashyr [59]: 18; “Faltanzur nafsun ma qaddamat lighad (Hendaklah manusia memperhatikan apa yang telah diperbuat di masa lalu untuk kehidupan yang akan datang)”.

Baca Juga :   KH. Moch. Muchtar Mu’thi (2): Keturunan Nabi yang Membawa Pembaharuan Pengajaran Tarekat

Pengertian semacam itu, menurut ajaran Tarekat Shiddiqiyyah, penting demi menjaga objektifitas penulisan sejarah Indonesia—yang dalam beberapa hal kemungkinan mengalami banyak distorsi. Karena itulah, pada tanggal 18 Agustus 2016 lalu para pemimpin organisasi dalam lingkungan Shiddiqiyyah mengeluarkan “Petisi Kemerdekaan Bangsa Indonesia” yang ditujukan kepada Presiden RI. Dalam petisi itu, mereka menjelaskan bahwa ungkapan “Kemerdekaan Republik Indonesia” bertentangan dengan teks Proklamasi: “(1) Proklamasi. Kami Bangsa Indonesia…(2) dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia… (3) Atas nama Bangsa Indonesia.

Menurut Kiai Muhammad Muchtar, frasa “17 Agustus Hari Kemerdekaan Republik Indonesia” bisa membawa kepada enam dosa besar politik, yaitu:

  1. Dosa besar politik terhadap Proklamasi. Sebab, jika menganggap frasa tersebut benar, berarti pernyataan “Kemerdekaan Bangsa Indonesia” dalam teks Proklamasi dianggap salah.
  2. Dosa besar politik terhadap Bapak Bangsa. Jika berpendirian bahwa yang benar adalah “Kemerdekaan Republik Indonesia”, bukan “Kemerdekaan Bangsa Indonesia”, berarti menganggap bahwa para Bapak Bangsa yang telah menyusun teks Proklamasi itu salah.
  3. Dosa besar politik terhadap Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sudah merdeka tetapi dianggap belum merdeka. Sebab, yang dianggap merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Republik Indonesia.
  4. Dosa besar politik terhadap NKRI. Jika berpendirian “Kemerdekaan Republik Indonesia”, itu sama halnya menganggap NKRI ini pernah dijajah, kemudian merdeka.
  5. Dosa besar politik terhadap sejarah.
  6. Dosa besar politik terhadap Pembukaan UUD 1945.

Artikel Terkait

1 comment

Agama Bukan Candu, Tetapi Booster Kemandirian Ekonomi – samudrafakta.com 28 Februari 2023 at 15:50

[…] Doktrin cinta tanah air Tarekat Shiddiqiyyah juga diaplikasikan dengan cara membangun kemandirian ekonomi. Upaya membantu menggairahkan aktivitas perekonomian negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus mencegah penyebaran ideologi teror atas nama agama. […]

Reply

Leave a Comment