Korupsi Kuota Haji 2024 adalah Pengkhianatan Terhadap Hukum, Rakyat, dan Tuhan

Ilustrasi. - Samudrafakta
Skandal kuota haji 2024 menyingkap niat jahat, pelanggaran nyata, dan penyalahgunaan diskresi. Ribuan jemaah reguler tergeser, sementara pejabat menjadikan ibadah suci sebagai komoditas.
__Editorial

Haji adalah rukun Islam yang disakralkan jutaan umat. Ia bukan sekadar perjalanan ritual, melainkan perwujudan cita-cita spiritual yang ditunggu bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. 

Di Indonesia, salah satu negara dengan antrean haji terpanjang di dunia, tambahan kuota dari Arab Saudi semestinya menjadi hadiah yang membawa harapan. Namun, musim haji 2024 justru menghadirkan ironi. Kuota tambahan sebanyak 20 ribu jemaah dibagi dengan cara yang menyalahi aturan. Alih-alih mengikuti amanat undang-undang dengan komposisi 92 persen reguler dan 8 persen khusus, Kementerian Agama menetapkan pembagian 50:50.

Keputusan itu bukan sekadar salah hitung. Ia bukan pula kekeliruan administratif yang bisa ditoleransi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membongkar adanya niat jahat sejak awal. 

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menegaskan bahwa pembagian 50:50 tidak lahir tiba-tiba, melainkan hasil komunikasi antara pihak asosiasi haji dengan oknum Kemenag. 

Bacaan Lainnya

Komunikasi itu melahirkan angka sepuluh ribu berbanding sepuluh ribu—sebuah formula yang jelas menyimpang dari undang-undang. Dari sini terlihat bahwa kebijakan tersebut bukan diskresi untuk menyelamatkan kepentingan umum, melainkan hasil persekongkolan yang didorong oleh motif keuntungan.

Mens Rea dan Actus Reus Terpenuhi

Hukum pidana menyebut niat jahat sebagai mens rea. Tanpa niat, sebuah pelanggaran bisa dianggap sekadar kelalaian. Dan bukti-bukti dalam kasus ini menunjukkan dengan terang bahwa pejabat tidak hanya lalai, melainkan dengan sadar mengabaikan aturan. Inilah yang menjadikannya tindak pidana.

Lebih dari sekadar niat, tindakan nyata yang melanggar hukum juga terbukti. Dalam hukum dikenal istilah actus reus, yaitu perbuatan konkret yang menabrak aturan. 

Pembagian kuota 50:50 jelas bertentangan dengan UU 8/2019. Dampaknya bukan main-main. Sebanyak 10.371 jemaah reguler yang sudah menunggu bertahun-tahun tergeser dari jadwal keberangkatan. Mereka yang semestinya berangkat pada 2024 harus kembali masuk antrean panjang, sementara pihak travel haji khusus menikmati keuntungan. 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *