samudrafakta.com

Konsesi Tambang adalah Gaya Politik Ekonomi Belanda, Para Pendiri NU Menolaknya

Ilustrasi.
YOGYAKARTA—Kebijakan pemerintah di era Presiden Joko Widodo alias Jokowi memberikan konsesi tambang kepada ormas keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama (NU), mirip dengan praktik politik ekonomi era Kolonial Belanda. Para pendiri NU pernah ditawari konsesi, tapi menolaknya.

Banyak kalangan Nahdliyyin menilai, sikap yang ideal terhadap kebijakan konsesi tambang dari pemerintah adalah dengan menolaknya—agar NU tetap berada di jalur sebagai “Jam’iyyah Nahdliyyah” atau organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan.

Aktivis senior NU di Yogyakarta, Kiai Marzuki Kurdi menceritakan, sebagaimana catatan sejarah, dulu ulama-ulama NU seperti Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Hasyim Asy’ari, dan yang lain menolak pemberian konsesi tambang oleh pemerintah Belanda kepada NU. Sebagai alternatifnya, Mbah Wahab dan Mbah Hasyim mendirikan Syirkatul ‘Inan sebagai lembaga ekonomi Nahdliyyin.

Sebagai informasi, industri tambang batu bara pertama kali di Indonesia berdiri pada tahun 1849, yang muncul di Pangaron, Kalimantan Timur. Inisiatif ini dijalankan oleh perusahaan swasta Belanda, yang dikenal sebagai  Oost-Borneo Maatschappij.

Bagi Kiai Kurdi, Syirkatul ‘Inan dan Muqadimah Qanun Asasi adalah pemikiran prediktif Mbah Wahib dan Mbah Hasyim, agar jamaah Nadhliyyin di masa depan bisa mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada pemberian konsesi tambang—yang merupakan gaya politik ekonomi Hindia Belanda.

Baca Juga :   Buntut Janji Tambang Jokowi ke PBNU, Nahdliyin Menilai ber-NU Tak Lagi Menarik?

Soal kenapa elite PBNU hari ini menerima konsesi tambang dari pemerintah, Menurut Kiai Kurdi, ada alasan sangat eksistensial yang melatarbelakanginya. “PBNU hari ini gamang dalam menata dirinya sendiri, gagu memakai aksesoris maupun baju, dalam merawat warganya,” katanya.

Semua itu, dalam pandangan Kiai Kurdi, disebabkan minimnya pengetahuan, yang menyebabkan kebijakan-kebijakannya tidak lagi sejalan dengan warisan ulama NU terdahulu.

“Alhasil, kebijakan-kebijakannya bersifat ‘semau gue’, yang menabrak aturan-aturan dalam NU, seperti Khitthah, Qanun Asasi, dan lainnya,” jelasnya.

Artikel Terkait

Leave a Comment