Kapitayan, Agama Monoteisme Asli Nusantara yang ‘Difitnah’ sebagai Animisme-Dinamisme

Sejarah merekam keberadaan sebuah agama asli Nusantara bernama Kapitayan. Agama ini punya beberapa kesamaan substansial dengan Islam, termasuk dalam hal ritual. Namun, Kapitayan ‘difitnah’ oleh Barat, disebut sebagai aliran animisme-dinamisme. Pemahaman salah kaprah yang perlu dikoreksi.

Fakta sejarah Nusantara menyajikan banyak berita dan data tentang eksistensi ajaran monoteisme dalam beberapa agama lokal di Nusantara. Salah satunya adalah agama Kapitayan. Agama ini dianut oleh mayoritas penduduk Jawa pada masa lalu. Menurut sejarawan Agus Sunyoto, ajaran Kapitayan memiliki beberapa kesamaan substansial dengan Islam.

Di daerah lain Nusantara selain Jawa, menurut Agus Sunyoto, juga terdapat agama-agama sejenis Kapitayan, namun namanya berbeda-beda. Suku-suku seperti Sunda, Batak Parmalim, Kaharingan Dayak Borneo, dan To Manurung-I La Galigo di Sulawesi, misalnya. Di masa lalu, suku-suku itu telah memiliki kepercayaan tentang keberadaan “suatu entitas tak kasat mata”, namun memiliki kekuatan adikodrati yang menyebabkan kebaikan dan keburukan dalam kehidupan.

Artinya, mereka tidak menyembah selain Tuhan Yang Maha Agung. Sang Mutlak. Dewa atau Batara sekalipun tetap mereka anggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dan tidak layak disembah.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa Kapitayan merupakan agama asli dan tertua di Nusantara. Lahir jauh sebelum hadirnya Hindu dan Buddha. Bahkan, ada juga pihak yang menganggap jika agama ini bersumber dari ajaran Nabi Adam As.

Bacaan Lainnya

Menurut pihak-pihak ini, penganjur pertama Kapitayan disebut Hyang Semar, yang menurut mereka merupakan keturunan ke-9 Nabi Adam As. Pernyataan bahwa Hyang Semar merupakan keturunan Nabi Adam tertera pada catatan dalam kitab kuno Pramayoga dan Pustakaraja Purwa, sebagaimana dicatat Agus Sunyotodalam buku Agama Bangsa Nusantara (2015).

Sementara itu, Belanda menganggap Kapitayan bukanlah agama, tetapi aliran kepercayaan dinamisme dan animisme yang menyembah tempat-tempat sakral, seperti gua, pohon, batu dan lain-lain. Maka dari itu, Belanda menuliskan sejarah tentang Kapitayan sebagai aliran kepercayaan, bukan agama yang bertuhan.

Sejarah yang ditulis secara keliru ini kemudian menjadi kiblat peneliti Barat dalam meneliti agama-agama di Nusantara. Bahkan Ma Huan, seorang China Muslim yang mendampingi ekspedisi Cheng Ho, dalam buku Yingyai Shenglan—yang ditulis pada abad ke-15—menuliskan bahwa Kapitayan itu kafir.

Beberapa literatur sejarah, utamanya yang diajarkan dalam buku-buku di sekolah, juga menyebut bahwa leluhur Jawa adalah penganut animisme dan dinamisme. Padahal, fakta sejarah—sepanjang itu bukan sejarah yang ditulis ilmuan Barat—sebenarnya menerangkan secara gamblang bahwa Kapitayan adalah agama asli Nusantara yang mengusung konsep monoteisme. Kapitayan telah mengenal konsep kemahatunggalan Tuhan, yang dipercaya berada pada dimensi yang berbeda dari manusia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *