JAKARTA—Heboh kasus dugaan korupsi Rp271 triliun PT Timah, yang menjerat pengusaha Harvey Moeis sebagai tersangka, mengingatkan publik pada gaya hidup istrinya, selebritis Sandra Dewi, yang sering pamer barang-bawang mewah di akun media sosialnya. Helena Lim, tersangka kasus PT Timah lainnya, juga kerap pamer gaya hidup mewah di medsos. Publik menyebut perilaku mereka itu sebagai flexing.
“Flexing” adalah istilah populer dalam dunia medsos, merujuk pada tindakan memamerkan atau menunjukkan sesuatu dengan bangga. Mulai dari menunjukkan kekayaan materi, prestasi, bahkan pengetahuan.
Flexin atau flexing merupakan kata yang memiliki banyak makna dalam Bahasa Inggris. Menurut Cambridge Dictionary, flexing berarti, “menunjukkan sesuatu yang kamu miliki atau raih, tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan.”
Dalam Urban Dictionary, flexing diartikan sebagai, “Show off all of your shit to people or act out for attention,” atau, “menunjukkan semua yang dimiliki (materi) kepada orang-orang untuk mendapatkan perhatian.”
Pengertian serupa juga terdapat dalam kamus Merriam-Webster, flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok.
Jadi, bisa dikatakan flexing merupakan istilah yang digunakan untuk pamer kekayaan.
Di era digital ini, contoh flexing bisa ditemui secara mudah, seperti seorang influencer yang flexing tas buatan desainer atau kemewahan lainnya di media sosial.
Perilaku flexing sering terjadi di platform medsos, terutama di Instagram dan TikTok. Orang-orang memposting foto serta video liburan mewah mereka, mobil, dan barang-barang mewah lainnya—sebagaimana Sandra Dewi dan Helena Lim—barangkali untuk mendapatkan pengakuan dan pujian.
Dalam budaya daring, kata “flex” atau “flexing” juga digunakan untuk membahasakan tindakan memamerkan perdebatan atau persaingan.
Misalnya, ketika dalam suatu percakapan online seseorang mengatakan, “Saya punya lebih banyak pengikut daripada kamu,” maka pernyataan itu sudah termasuk salah satu bentuk flexing, karena yang menyatakannya merasa lebih baik atau unggul.
Flexing membuat orang yang memiliki sumber daya besar—terutama sumber daya ekonomi dan pengetahuan—hanya peduli pada citra mereka di media sosial daripada kebahagiaan sejati. Penggemar flexing sangat mungkin kecanduan medsos dan tidak otentik dalam kehidupan mereka di dunia nyata. Kehidupannya palsu.
Ketika orang kaya terus-menerus memamerkan kehidupan mewah mereka, bisa jadi orang yang melihatnya—terutama yang finansialnya pas-pasan, apalagi yang minus—merasa iri dan tidak puas dengan apa yang mereka miliki. Hal ini dapat mengarah pada perasaan rendah diri dan kecemburuan. Hilang rasa syukurnya.
Perilaku flexing pun, pada akhirnya, mempertajam kesenjangan sosial.