10 Pahlawan Nasional 2025 dan Pertarungan Makna di Balik Gelar

Di balik medali kehormatan, masih tersisa luka dan tanya. Tapi justru di sanalah makna kepahlawanan itu hidup: di ruang antara ingatan dan pengampunan. - Ilustrasi dibuat menggunakan SORA
Tahun 2025 menandai satu babak baru dalam cara bangsa Indonesia membaca sejarahnya.

Presiden Prabowo Subianto menetapkan sepuluh nama sebagai Pahlawan Nasional — daftar yang memadukan figur legendaris dan nama-nama yang sebelumnya nyaris tenggelam.

Namun lebih dari sekadar penghormatan, keputusan ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apa arti kepahlawanan di tengah ingatan yang tak pernah tuntas?

Dari Istana ke Rakyat: Proses yang Panjang dan Penuh Arti

Keputusan Presiden Nomor 116/TK Tahun 2025 ditandatangani di Istana Negara pada 10 November — tepat di Hari Pahlawan.

Di barisan nama itu ada Abdurrahman Wahid, Soeharto, Marsinah, Mochtar Kusumaatmadja, Hajjah Rahmah El Yunusiyyah, Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Syaikhona Kholil, Tuan Rondahaim Saragih Garingging, dan Sultan Zainal Abidin Syah.

Bacaan Lainnya

Semuanya melewati proses panjang: dari usulan daerah melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), diverifikasi oleh Kementerian Sosial, lalu dibahas dalam Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan yang kini diketuai Fadli Zon.

Namun, di balik prosedur formal itu, penetapan gelar pahlawan selalu menjadi arena perdebatan ideologis: siapa yang layak diingat, siapa yang dilupakan.

Gus Dur dan Soeharto: Dua Kutub dalam Ingatan Nasional
Dua bab sejarah Indonesia: Gus Dur, gong reformasi dan demokrasi; Soeharto, bapak pembangunan yang meninggalkan jejak panjang kekuasaan. – Ilustrasi dibuat menggunakan SORA

Dua nama paling kuat di daftar itu — Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Soeharto — merepresentasikan dua fase besar Indonesia modern: reformasi dan Orde Baru.

Ironisnya, keduanya kini disandingkan dalam satu Keppres yang sama.

Gus Dur adalah simbol kebebasan berpikir dan pluralisme. Ia membuka ruang demokrasi, menegakkan kebebasan pers, dan memperjuangkan minoritas di masa pasca-rezim militeristik.

Sementara Soeharto adalah arsitek stabilitas dan pembangunan yang menciptakan fondasi ekonomi nasional, tetapi juga menyisakan catatan kelam pelanggaran HAM dan represi politik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *