Ia mendirikan Madrasah Diniyyah Putri di Padang Panjang pada 1923, di saat pendidikan bagi perempuan masih dianggap tabu.
Sekolahnya menjadi tempat lahirnya banyak tokoh perempuan ulama, pendidik, dan aktivis sosial.
Penetapan Rahmah sebagai pahlawan nasional bukan hanya soal sejarah pendidikan, tapi juga pengakuan terhadap peran perempuan dalam membentuk bangsa.
Di tengah isu kesetaraan yang kian relevan, sosok Rahmah menjadi rujukan sejarah bahwa pemberdayaan perempuan bukan gagasan Barat — tapi bagian dari tradisi Islam Nusantara yang tercerahkan.
Sarwo Edhie Wibowo: Antara Loyalitas dan Luka Sejarah

Sementara itu, Jenderal (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo mewakili babak lain dari sejarah yang tak pernah selesai dibicarakan.
Sebagai komandan RPKAD pada 1965, ia memimpin operasi penumpasan gerakan yang dituduh komunis. Sebuah periode yang menyisakan jutaan korban.
Bagi sebagian kalangan, Sarwo Edhie adalah penyelamat bangsa. Bagi lainnya, ia adalah wajah kekerasan negara.
Namun, terlepas dari perdebatan itu, kiprahnya dalam pembangunan institusi militer — termasuk pendirian AKABRI dan reformasi disiplin TNI — diakui sebagai kontribusi strategis.
Pemberian gelar pahlawan padanya menunjukkan bahwa negara masih mencari keseimbangan antara penghormatan dan pengakuan atas luka masa lalu.
Sultan Muhammad Salahuddin: Nasionalisme dari Tanah Bima
Tidak semua pahlawan lahir dari perang besar. Dari timur Indonesia, Sultan Muhammad Salahuddin (1889–1951) dikenang sebagai raja yang memilih Republik.
Di tengah kekuasaan kolonial dan intrik politik kerajaan, ia mengeluarkan maklumat pada 22 November 1945 yang menegaskan: “Kesultanan Bima bersatu dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Langkahnya meneguhkan posisi NTB dalam struktur negara muda yang baru lahir.
Sultan Salahuddin juga dikenal membuka pendidikan untuk rakyat dan memperjuangkan kesetaraan sosial.





