Bagi sebagian orang, penyandingan nama mereka adalah upaya rekonsiliasi sejarah. Buat sebagian lainnya, ini dianggap ironi — di mana dua kutub yang dahulu bertolak belakang kini diabadikan bersama.
Marsinah: Dari Makam Sunyi ke Panggung Negara

Di antara sembilan nama lain, Marsinah adalah yang paling menggugah.
Tiga dekade lalu, ia hanya dikenal di lingkaran aktivis buruh. Seorang perempuan muda yang diculik dan dibunuh karena menuntut kenaikan upah.
Kasusnya tak pernah terungkap, tapi namanya hidup sebagai simbol perlawanan rakyat kecil terhadap kekuasaan.
Kini, negara mengangkatnya sebagai pahlawan nasional. Langkah ini menimbulkan perasaan campur aduk: haru sekaligus getir. Sebab, penghormatan tanpa keadilan hukum selalu terasa setengah hati.
Namun di sisi lain, pengakuan ini menegaskan bahwa pahlawan tak selalu berseragam atau berpendidikan tinggi. Terkadang mereka berasal dari lantai pabrik, membawa suara yang selama ini diredam.
Mochtar Kusumaatmadja: Pahlawan di Meja Diplomasi

Di luar politik dan tragedi, penetapan Mochtar Kusumaatmadja membawa napas segar: pengakuan pada pahlawan yang berjuang lewat ilmu dan diplomasi.
Sebagai arsitek hukum laut internasional, Mochtar memperjuangkan konsep archipelagic state yang memperluas kedaulatan maritim Indonesia hingga diakui dalam Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Tanpa kerja diplomatiknya, peta Indonesia takkan seluas sekarang.
Di tengah arus politik identitas dan militerisme, kehadiran nama Mochtar adalah pengingat bahwa kedaulatan juga bisa dibangun lewat kecerdasan dan nalar hukum.
Ia pahlawan yang tidak menumpahkan darah, tapi memperjuangkan batas laut dengan pena dan pidato.
Rahmah El Yunusiyyah: Perempuan, Pendidikan, dan Pencerahan

Dari tanah Minangkabau, muncul nama Hajjah Rahmah El Yunusiyyah — pelopor sekolah Islam perempuan pertama di Indonesia.





