samudrafakta.com

Refleksi Satu Abad NU (1): Semestinya Menjadi Momentum Transformasi Monumental

16 Rajab 1444 H atau bertepatan 7 Februari 2023 nanti, Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) berdasar kalender Hijriyah genap berusia 100 tahun. Satu abad adalah pertanda kemampuan daya hidup, tahan banting, ampuh, prima dan digdaya. Dengan kekuatan dan daya tahan yang dimiliki itulah NU diharapkan bisa semakin meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.

Eksistensi NU mampu mencapai umur 1 abad menunjukkan bahwa NU luar biasa dan ngedap-edapi. Dan bukan organisasi sembarangan dan ‘kaleng-kaleng’. Banyak organisasi yang tumbang sebelum mencapai angka umur itu, bahkan ada yang baru seumur jagung sudah bubar.

Organisasi Islam yang bisa bertahan sampai satu abad lebih, salah satunya adalah, ‘saudara tua’ NU, Muhammadiyah, yang sudah mencapai satu abad di November 2012. Sedangkan saudara NU lainnya, yakni Persis baru akan menginjak satu abad usianya di September 2023 nanti; Al-Irsyad Al-Islamiyah pada 2024; Mathla’ul Anwar pada 2026 nanti; Persatuan Tarbiyah Islamiyah pada 2028; dan Al-Jamiatul Wasliyah pada 2030.

Usia 100 tahun adalah usia kritis bagi organisasi sebesar NU. Apakah akan kembali ke titik nol atau akan memasuki masa baru dengan optimisme, daya gerak juang, inovasi dan kreativitas dengan kolaborasi, baik internal maupun aksternal, bahkan internasional.

Baca Juga :   Peta Politik Bisa Berubah Drastis Gegara Cak Imin

Menurut Prof Mahfud MD., kunci NU bertahan sampai usia 1 abad karena NU berhasil membangun keislaman dan keindonesiaan secara harmonis, serta lentur dan akomodatif terhadap budaya dalam berdakwah. Sebagaimana menurut Ali Syariati, sosiolog asal Iran, masa depan peradaban adalah budaya dan tasawuf. Keduanya ada di NU. Intinya rahasia sukses dan berdaya tahan lama, NU selalu berorientasi jangka panjang dan menghargai tradisi dan pendahulu, al-mukhafadhatu ‘ala qadim as-salih wal akhdzu bil jaded aslah.

Organisasi massa Islam tradisionalis yang di dalamnya berkumpul para kiai, santri, dan masyarakat pedesaan ini sudah mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai gerakan umat sejak pra-kemerdekaan, era kemerdekaan, era otoritarisnisme Orde Baru, era Reformasi hingga zaman Kiwari. Organisasi NU bukan Ikatan Cendekiawan yang dibentuk oleh kaum cendekia. NU juga bukan partai politik yang dibikin para politisi atau organisasi profesi, yang berintikan orang-orang profesional.

NU adalah organisasi yang dipimpin dan diawasi oleh para ulama pondok pesantren. Ciri inilah yang membuat organisasi NU lain daripada yang lain. Gus Dur pernah menyatakan kalau ada orang menilai NU itu organisasi kampungan atau organisasi ndeso, itu tidak perlu dibantah. Sebab, memang NU lahir dari desa. Tetapi, sekalipun begitu, kalau tidak ada NU, Indonesia kayak apa? Berapa pun besar biaya dan risikonya, NU akan menjaga keutuhan NKRI. Sangat pantas bisa banyak julukan disematkan kepadanya, seperti “NU satpamnya Indonesia”, “NU Jimat NKRI”, “NU azimat Islam Indonesia”, “NU jangkar keutuhan Indonesia”, ‘NU Jangkar perdamaian Indonesia dan dunia”, dan lain sebagainya.

Baca Juga :   PBNU Nonaktifkan Pengurus yang Terlibat Pemilu, Termasuk Khofifah dan Habib Luthfi

Satu abad bisa dimaknai sebagai era perubahan untuk kemajuan NU sebagai jami’iyyah (perkumpulan) sekaligus sebagai harakah (gerakan) untuk Islam, Indonesia, dan dunia. NU sudah memasuki era penting dalam hal keagamaan, kebangsaan, dan isu global.  Fase satu abad seharunya menjadi transformasi monumental. Inilah momen baik untuk mengevaluasi 100 tahun pertama, dan selanjutnya merevitalisasi dan merejuvenasi gerak dan program 100 tahun pertama, serta menyiapkan rencana dan langkah strategis 100 tahun kedua.

Momentum usia 100 tahun NU sebagai momentum era kebangkitan baru, kebangkitan kedua (an-nahdlah ats-tsaniyyah) bagi NU. Tantangan, kompleksitas, goncangan, ketidakpastian dan ujian di 100 tahun kedua tentu akan semakin banyak.

Artikel Terkait

Leave a Comment