samudrafakta.com

Politik Islam (1): Bukan Implementasi Syariat, Pemimpin Politik Hanya Mengurus Duniawi

Ilustrasi.
JAKARTA–Di tengah riuh rendah urusan politik di Indonesia, beberapa kelompok memunculkan narasi tentang “politik berdasarkan syariat Islam” dengan dalih untuk menjaga muruah agama; sementara kelompok lainnya mendefinisikan wacana tersebut sebagai “politisasi agama”. Mana yang benar?

Menurut Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi (w. 450 H.), dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, istilah “politik” atau “siyasah” mengacu pada salah satu tugas seorang pemimpin. Sementara Islam mengatur bahwa tugas pokok seorang pemimpin ada dua, yaitu menjaga agama dan mengatur kehidupan duniawi.

Politik Islam, secara ontologis, adalah tugas seorang pemimpin yang sebatas menyangkut urusan keduniawian—seperti pemerintahan, kerakyatan, kesejahteraan, dan keadilan.

Mengingat politik hanya menyangkut salah satu tugas seorang pemimpin dalam urusan duniawi, maka istilah “mempolitisir agama” sebenarnya kurang tepat.

Sebab, khusus menyangkut urusan agama, istilah yang tepat adalah “menjaga agama” (حراسة الدين). Politisasi agama dan menjaga agama adalah dua perkara yang berbeda.

Politisasi agama adalah tindakan menjadikan agama sebagai identitas, dan seluruh urusan politik merujuk pada nilai-nilai agama. Sementara menjaga agama adalah memastikan ajaran-ajaran agama bisa dijalankan oleh umat yang meyakininya. Setiap kebijakan politik pemerintah tidak perlu mengacu pada syariat selama tidak bertentangan dengan syariat.

Baca Juga :   Deklarasi Anies-Muhaimin: Di Antara Kontroversi Klaim Dukungan Nahdliyin dan ‘Gerak Cepat’ KPK

Dalam hal tersebut, Al-Mawardi membagi pandangan umat muslim tentang dasar politik Islam menjadi dua. Kelompok pertama mengatakan, dasar politik adalah akal rasional. Sebab, akal dinilai sudah cukup menjadi landasan bernegara, seperti mencegah kriminalitas (التظالم), konflik (التنازع), disintegrasi (التخاصم), dan lainnya. Akal sudah tahu bahwa tanpa kehadiran pemimpin maka nasib rakyat akan terlantar. Pandangan ini didukung oleh kelompok Mu’tazilah, menurut Al-Mawardi.

Artikel Terkait

Leave a Comment