Seruan Antonio Guterres muncul setelah laporan WHO mengungkap pembunuhan massal di El-Fasher, Darfur.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyerukan segera dihentikannya kekerasan di Sudan setelah laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkap lebih dari 460 orang ditembak mati di sebuah rumah sakit bersalin di kota El-Fasher, Darfur Barat.
Seruan itu disampaikan Kamis (30/10), menandai salah satu tragedi kemanusiaan paling kelam sejak konflik Sudan pecah.
“Saya sangat prihatin dengan peningkatan eskalasi militer di El-Fasher,” kata Guterres, dalam pernyataannya. Ia mendesak agar segera diakhiri “pengepungan dan permusuhan bersenjata.”
Menurut WHO, Rumah Sakit Bersalin Saudi — satu-satunya fasilitas medis yang masih berfungsi sebagian di kota itu — telah menjadi sasaran serangan berulang sejak awal Oktober. Serangan keempat pada Ahad lalu menewaskan satu perawat dan melukai tiga tenaga kesehatan.
Dua hari kemudian, enam petugas medis diculik, termasuk empat dokter. “Lebih dari 460 pasien dan pendamping mereka dilaporkan ditembak dan dibunuh di rumah sakit,” tulis WHO dalam laporannya yang dikutip AFP.
Serangan terjadi setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pimpinan Mohammad Hamdan Daglo merebut El-Fasher dari militer Sudan, usai pengepungan selama 18 bulan. Kota itu merupakan benteng terakhir tentara di Darfur.
Kejatuhannya menimbulkan kekhawatiran akan terulangnya kekejaman etnis seperti dua dekade lalu, ketika milisi Janjaweed — cikal bakal RSF — dituduh melakukan genosida terhadap komunitas non-Arab.
Daglo, dalam pidatonya pada Rabu (29/10), menyatakan penyesalan atas “bencana yang menimpa warga El-Fasher” dan menegaskan warga sipil tidak menjadi target. Namun, laporan lapangan dan citra satelit menunjukkan hal sebaliknya.
Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale melaporkan citra satelit memperlihatkan “peristiwa pembunuhan massal” di sekitar Rumah Sakit Saudi dan dugaan pembantaian di bekas Rumah Sakit Anak di timur kota, yang kini dijadikan tempat penahanan oleh RSF. Laporan itu juga menemukan bukti “pembunuhan sistematis” di luar kota, mengindikasikan pembersihan etnis terhadap komunitas non-Arab.
Pemerintah Sudan menuduh RSF menewaskan lebih dari 2.000 warga sipil serta menargetkan masjid dan pekerja kemanusiaan Palang Merah. Sementara itu, Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah melaporkan lima relawan tewas dan tiga lainnya hilang di kota Bara, Kordofan tengah, yang baru direbut RSF.
Lebih dari 33.000 orang dilaporkan melarikan diri dari El-Fasher sejak Minggu ke Tawila, sekitar 70 kilometer di barat, yang sudah menampung lebih dari 650.000 pengungsi. Sekitar 177.000 orang masih bertahan di kota itu dari total populasi sebelum perang yang mencapai satu juta jiwa. Jalur darat dan jaringan komunikasi tetap terputus, kecuali untuk RSF yang menguasai koneksi satelit Starlink di wilayah tersebut.***





