samudrafakta.com

NU Bukan Parpol, Hindari Politik Transaksional Jangka Pendek

YOGYAKARTA— Di tengah suasana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ini, sebagian warga nahdliyin menilai ada Indikasi ketidaknetralan dan keberpihakan para elite Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Untuk mengurai masalah tersebut, Jaringan Nasional Pengawal Khittah NU (JNPK NU)—jaringan yang beranggotakan beberapa kiai dan aktivis NU—mengeluarkan sejumlah pernyataan sikap dan rekomendasi. Di antaranya menegaskan bahwa NU bukan partai politik dan harus menghindari politik transaksional.

Pernyataan sikap dan rekomendasi tersebut merupakan hasil dari diskusi bertema “NU, Khittah 1926 dan Civil Society”, yang digelar di Fakultas Ilmo Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jl. Sosio –Yustisio, Bulaksumur, Depok, Sleman, Sabtu (20/1/2024).

Diskusi dipandu Abdul Gaffar Karim dari program studi Fisipol UGM Yogyakarta. Beberapa tokoh dan aktivis NU Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) hadir dalam acara tersebut, antara lain Nur Khalik Ridwan; KH. Abdul Muhaimin dari Ponpes Nurul Ummahat; KH. Aguk Irawan dari Ponpes Baitul Kilmah; KH. Mustafid, dan beberapa anggota Fatayat serta Muslimat NU di wilayah DIY.

“Diskusi ini membahas arah perkembangan gagasan ‘Kembali ke Khittah 1926 Jam’iyah Nahdlatul Ulama’. Sebuah gagasan yang merupakan hasil keputusan Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo, yang dimotori oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan tokoh-tokoh lain sezaman. Di sini kami ingin menemukan makna paling ideal untuk konteks Indonesia dewasa ini, yang sejak tahun 1998 telah memutuskan untuk mengarus-utamakan demokrasi,” ujar salah satu penggagas diskusi, Aguk Irawan, Sabtu (20/1/2024).

Aguk menambahkan, diskusi tersebut digelar karena PBNU periode 2022-2027—sebagai penerima amanah dari seluruh warga nahdliyin—dinilai telah menciptakan kegelisahan di tengah kehidupan kader, terutama terkait sikap politik praktis menjelang Pemilu 2024.

Baca Juga :   Media Asing Sebut Gibran ‘Nepo Baby’, Apa Maksudnya?

Menurut Aguk, sebagian warga NU menilai bahwa PBNU telah terjun ke politik praktis, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Kecenderungan sikap tersebut, kata Aguk, telah menyalahi AD/ART organisasi, serta menghianati keputusan Khittah 1926 pada Muktamar ke 27 di Situbondo. Namun, di sisi lain, sebagian yang lain beranggapan bahwa sikap PBNU masih wajar dan netral, sesuai prinsip dasar organisasi.

Karena adanya perbedaan cara pandang tersebut, menurut Aguk, indikasi perpecahan internal—khususnya di kalangan warga dan kader NU—tidak bisa dihindari. Demi kemaslahatan seluruh jamaah nahdliyin, Aguk melanjutkan, maka upaya rekonsiliasi di antara dua pihak sangat perlu dilakukan.

Untik keperluan rekonsiliasi itu, JNPK NU mengeluarkan beberapa pernyataan sikap, yaitu:

  1. Memohon kepada PBNU agar mampu meyakinkan seluruh warga nahdliyin bahwa PBNU menjalankan amanat Anggaran Dasar (AD) Organisasi, Bab IV Tujuan dan Usaha, Pasal 8 Ayat (1), yaitu: NU sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyah, yang menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkat martabat manusia. Sehingga seluruh sikap PBNU yang bernuansa politik praktis perlu diminalisir, lebih-lebih konflik internal harus dijauhi karena merusak harkat dan martabat NU.
  1. Memohon kepada PBNU agar seluruh usaha PBNU senapas dengan Anggaran Dasar (AD) Pasal 9, yang hanya meliputi: bidang agama, bidang pendidikan, bidang sosial, dan bidang ekonomi. Sehingga segala sikap PBNU, baik yang menimbulkan kesan tersirat maupun ucapan tersurat, diupayakan tidak menyinggung perkara politik praktis, apalagi kampanye untuk Paslon tertentu.
  1. Memohon secara khusus kepada PBNU agar mengklarifikasi pernyataan Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf terkait salah satu pantunnya yang mengarahkan dukungan pada Paslon tertentu. Video acara antara pengurus harian PBNU dan sejumlah kader dan pengurus harian NU se-Jateng di Kendal itu telah beredar secara luas.
  1. Memohon agar PBNU memberi klarifikasi secara terang-benderang terkait pemberitan konsesi tambang oleh Presiden Joko Widodo kepada PBNU, sebagai pernyataan yang tidak bertentangan dengan amanat Anggaran Dasar (AD) Bab XI Keuangan dan Kekayaan Pasal 29 ayat (1) dan (2) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Bab XXV Keuangan dan Kekayaan huruf c, bahwa bantuan Pemerintah dan/atau Presiden Joko Widodo tersebut sebagai bantuan yang halal dan tidak mengikat, serta merupakan hibah, hadiah, dan sedekah dari pemerintahan Joko Widodo kepada PBNU yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya, Ketua Umum PBNU harus memberikan pernyataan terbuka bahwa PBNU tidak akan balas budi kepada Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2024 nanti, untuk menghindari persepsi publik bahwa konsesi tambang akan diserahkan kepada PBNU setelah Pemilu 2024 sebagai jatah dukungan PBNU pada Paslon No. 02.
  1. Memohon kepada PBNU agar melakukan pergantian antar waktu terhadap para Pengurus Harian NU, Pengurus Lembaga NU, dan Ketua Badan Otonom NU, yang memiliki jabatan di “perkumpulan yang berafiliasi kepada partai politik,” seperti Tim Kampanye dan Tim Pemenangan Paslon, sebagaimana amanat Anggaran Rumah Tangga (ART) Bab XVI Rangkap Jabatan Pasal 51 ayat (1) huruf d, ayat (3) huruf d.
  1. Memohon kepada PBNU agar menjalankan amanat Muktamar Ke-28 NU di Pondok Pesantren Krapyak, Jogjakarta, pada 1989 bahwa berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya. Sehingga perilaku politik PBNU harus mampu menampilkan indikator-indikator moralitas, akhlak, dan budaya adi luhung, bukan politik balas budi.
Baca Juga :   Adik Ipar Presiden Jokowi Kembali Jabat Ketua MK

Diskusi tersebut juga menghasilkan sembilan rekomendasi, yaitu:

  1. Adalah tidak bermanfaat memisahkan urusan politik dari NU, namun pengelolaannya harus demi kemaslahatan umum. NU harus menjaga kemandirian politik dan ekonomi, agar jam’iyah tidak tergantung pada uluran tangan penguasa;
  2. Konsep NU bukan partai politik dan bukan underbouw partai politik adalah rujukan moral sekaligus formal dalam tindakan politik NU. Maka NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam pilpres;
  3. NU harus menghindari politik transaksional yang bersifat jangka pendek, namun lebih fokus pada politik moral agar dapat terus berperan sebagai bengkel kemanusiaan demi mengatasi berbagai persoalan bangsa;
  4. Dalam upaya mengelola kepentingan politik praktis pemilu, NU perlu mengupayakan perbaikan dan penegasan atas hubungannya dengan partai-partai politik yang menjadi saluran aspirasi warga NU;
  5. NU harus memainkan fungsi pengawasan kekuasaan di Indonesia;
  6. NU perlu fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat;
  7. Upaya perbaikan serius NU memerlukan keteladanan dari pimpinan tertinggi jam’iyah guna berkhidmah kepada ummat, bangsa dan negara berlandaskan nilai-nilai Aswaja Annahdliyah;
  8. Jajaran nahdliyin perlu melakukan evaluasi perilaku dan posisi NU dalam konteks kekuataan civil society yang berbasis Aswaja Annahdliyah dan; dan
  9. Perlu rekonstruksi keorganisasian NU sesuai Qonun Asasi dan AD/ART NU agar jam’iyah kembali menjadi gerakan kebangkitan para ulama. ○
Baca Juga :   Cak Imin: Ada Pengurus Cabang NU Takutnya Minta Ampun Kalau Ketemu dan Berfoto dengan Saya

 

FOTO: Ulama dan aktivis NU Yogyakarta seusai menggelar diskusi “NU, Khittah 1926 dan Civil Society”, di Kampus UGM, Yogyakarta, Sabtu (20/1/2024). (Dok. JNPK NU)

Artikel Terkait

Leave a Comment