samudrafakta.com

“Mlaku Ndodok”, Adab yang Dipelajari di Ndalem Pojok

Makam Bung Karno di Blitar yang selalu ramai dikunjungi peziarah.(dok. SF)
Sukarno punya kebiasaan berjalan jongkok—dalam bahasa Jawa disebut laku ndodok—ketika mengunjungi makam orang-orang yang dihormatinya. Kebiasaan itu dia kerjakan sejak muda, sebagai kebiasaan selama tinggal di Ndalem Pojok, dan tetap diamalkannya setelah menjadi presiden.

 

 

Setiap berkunjung ke Ndalem Pojok, di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, untuk menziarahi makam kakek dan ayah angkatnya, R.M.P. Soemohatmodjo dan R.M.P. Soemosewojo, Sukarno selalu melepas alas kaki dan berjalan jongkok, atau mlaku ndodok, sejak dari gerbang menuju makam yang terletak di belakang rumah Ndalem Pojok.

Kebiasaan itu selalu diamalkan Sukarno sampai dia menjadi presiden. Pada Januari 1946, dalam kunjungan resmi setelah diangkat menjadi Presiden Republik Indonesia, Sukarno yang mengenakan pakaian resmi kepresidenan, dengan pengawalan lengkap, dan disaksikan banyak orang, tiba-tiba melepas sepatu dan menyembah ketika sampai di pintu gerbang makam di Ndalem Pojok. Selanjutnya dia berjalan jongkok menuju makam, lalu menyembah lagi saat di depan pusara. Momen ini disaksikan ribuan mata. Salah satu saksinya adalah Muselim alias Mbah Lim, 81 tahun, warga Desa Pojok.

Baca Juga :   Dia Susuri Sejarah bersama Kayuh Sepeda

Menurut Kushartono, pemangku harian Ndalem Pojok Persada Sukarno, aturan melepas alas kaki dan berjalan jongkok saat ziarah makam sudah menjadi tradisi keluarga secara turun-temurun—jauh sebelum Sukarno menjadi Presiden.  Sukarno jelas paham tradisi itu karena di masa kecilnya dia tinggal di sana. “Tradisi ini berlaku untuk siapa pun, termasuk Presiden Sukarno dan putra-putrinya ketika berziarah di makam Ndalem Pojok,” kata Kushartono.

Tradisi mlaku ndodok untuk menghormati makam orang yang dia hormati, yang Sukarno pelajari di Ndalem Pojok, ternyata tak hanya diamalkannya di Kediri. Dia juga mengamalkan tradisi tersebut ketika berziarah ke makam Kanjeng Nabi Muhammad Saw. di Madinah.

Pada Juli 1955, Presiden Sukarno dan 31 rombongannya menunaikan ibadah haji. Dia disambut langsung oleh Raja Saud bin Abdul Azis ketika tiba di Bandara Jeddah sebagai seorang muslim sekaligus pemimpin negara. Serangkaian acara penyambutan digelar, mulai dari pengibaran Bendera Merah-Putih, penembakan meriam 21 kali, pemutaran lagu kebangsaan, barisan kehormatan, dan perkenalan. Setelah itu Sukarno dijamu di Istana Raja.

Baca Juga :   Lima Desa di Jatim Ini Punya Nama yang Unik

Setelah perjamuan, Bung Karno berjalan-jalan di Kota Madinah bersama Raja Saud. Ketika itulah dia bertanya kepada Raja, “Di mana makam Rasulullah Saw., wahai Raja?”  Raja Saud menjawab, “Oh, itu, makam Rasulullah Saw. sudah terlihat dari sini”. Raja Saud pun mengantarkan langsung Sukarno ke makam.

Lalu, sebagaimana diceritakan Sayyid Husein Muthahar, pengkompos lagu-lagu perjuangan—seperti Hari Merdeka, Hymne Pramuka, dan Syukur—yang ikut dalam rombongan haji Bung Karno, begitu sampai di makam Rasul, Sukarno langsung melepas semua atribut kepangkatannya. Sukarno meniru gaya sahabat Rasul, Bilal bin Rabbah, di mana Bilal selalu melepas semua atributnya setiap mengunjungi makam Rasulullah.  

Artikel Terkait

Leave a Comment