Pemerintah mengakui bahwa pemberian amnesti dan abolisi untuk Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong sarat muatan politik. Namun, Mensesneg menegaskan langkah itu demi stabilitas dan persatuan nasional.
__________
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi tak menampik bahwa keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada dua terpidana korupsi—Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong—mengandung pertimbangan politik.
“Memang semangatnya beliau (Presiden Prabowo), kita ini butuh persatuan dan kesatuan,” kata Prasetyo di kompleks parlemen, Senin, 4 Agustus 2025. Ia meminta publik melihat kebijakan ini sebagai upaya mengurangi kegaduhan politik, bukan bentuk pembiaran terhadap korupsi.
Menurutnya, dua kasus yang melibatkan Hasto dan Tom lebih bernuansa politik ketimbang murni pidana. Karena itu, Presiden menggunakan hak konstitusionalnya untuk memberikan pengampunan. “Presiden menggunakan hak. Itu diatur dalam konstitusi,” ujarnya.
Tom Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi importasi gula pada 2015–2016, saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Sedangkan Hasto Kristiyanto dijatuhi hukuman 3,5 tahun dalam kasus suap penggantian antarwaktu Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
DPR RI telah memberi persetujuan atas pemberian abolisi untuk Tom dan amnesti untuk Hasto pada 31 Juli 2025. Total ada 1.178 orang yang turut menerima amnesti dalam keputusan itu.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menyebut langkah ini sebagai bagian dari strategi rekonsiliasi nasional. “Pertimbangannya rekonsiliasi, persatuan,” katanya.
Prasetyo juga mengajak publik memusatkan perhatian pada masalah yang lebih mendesak, seperti ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Ia menilai energi bangsa lebih baik diarahkan untuk meningkatkan produksi pangan dan memperluas akses Makan Bergizi bagi anak-anak.
“Energinya ke situ. Kita ini bersatu saja,” ujarnya. Ia bahkan mengibaratkan kondisi bangsa seperti tim sepak bola: sudah diisi pemain hebat, tapi tanpa kerja sama dan stabilitas, kemenangan tak mudah diraih.
Namun pernyataan Prasetyo menuai pertanyaan publik: apakah persatuan bangsa harus ditebus dengan memberi pengampunan kepada terpidana korupsi?
Langkah ini dinilai berisiko melemahkan komitmen pemberantasan korupsi dan menciptakan preseden berbahaya. Terlebih, kedua kasus tersebut menyangkut kepentingan publik: pemilu yang adil dan distribusi pangan yang jujur.
Meskipun secara hukum Presiden berwenang memberi amnesti dan abolisi, namun secara etika publik, keputusan ini membuka ruang perdebatan: apakah stabilitas politik layak ditegakkan dengan mengorbankan rasa keadilan?***