Hidup sebagai mahasiswa Muslim di Nanjing, Tiongkok, menuntut adaptasi dan ketahanan. Di tengah aturan ketat, mereka tetap bisa kuliah lancar sambil menjaga nilai-nilai Islam dan jalinan komunitas.
Oleh: Ahmad Fawwaz Rizka.
Mahasiswa Internasional NUIST Jurusan International Economy and Trade Nanjing University information Science and Technology (NUIST)
__________
Hidup sebagai mahasiswa Muslim di Nanjing bukan sekadar urusan akademik. Ia adalah perjalanan menjaga iman di tengah sistem sekuler yang menempatkan agama sebagai urusan privat, bukan ruang publik.
Nanjing, ibu kota Provinsi Jiangsu, adalah kota yang ramai dan historis. Berjarak sekitar 1.100 kilometer dari Beijing, kota ini bisa dicapai dengan kereta cepat dalam waktu kurang dari lima jam.
Dengan populasi lebih dari 20 juta jiwa dan komunitas Muslim sekitar 150 ribu orang, Nanjing menjadi salah satu kota dengan populasi Muslim terbesar di Tiongkok bagian timur.
Namun, jumlah itu tidak serta merta membuat kehidupan beragama menjadi mudah. Pemerintah Tiongkok menetapkan aturan ketat mengenai aktivitas keagamaan warga asing.
Dalam Regulations of the People’s Republic of China on Administration of Religious Activities of Foreigners in China, Pasal 8 menegaskan: warga asing tidak boleh mendirikan organisasi, lokasi, atau aktivitas keagamaan sendiri. Kegiatan misionaris, menunjuk tokoh agama, dan mengembangkan pengikut juga dilarang.
Dengan batasan itu, mahasiswa Muslim, termasuk penulis, perlu cerdik membaca ruang. Tapi bukan berarti semua pintu tertutup. Penulis masih bisa mengikuti salat Idulfitri dan Iduladha di masjid tua seperti Jingjue yang berdiri sejak 1388.
Di sanalah penulis merasakan hangatnya silaturahmi bersama Muslim dari Maroko, Uzbekistan, Pakistan, Bangladesh, dan tentu sesama pelajar dari Indonesia.
Identitas dan Adaptasi
Menjadi Muslim di negeri dengan sistem komunis memang tidak mudah, tetapi bukan berarti mustahil.
Pemerintah Tiongkok memang memisahkan urusan agama dari sistem pendidikan, ekonomi, dan sosial. Tapi, sepanjang tidak melanggar aturan, warga diberi ruang untuk beribadah.
Bahkan, perempuan berhijab masih bisa bebas berjalan di jalanan Nanjing, walau sesekali harus menjawab rasa penasaran warga lokal soal hijab dan agama yang kita anut.
Ada hal-hal yang harus diantisipasi, seperti prosedur untuk mengikuti salat Ied. Setiap peserta wajib memindai QR Code sebelum masuk masjid—bagian dari regulasi ketat pemerintah atas aktivitas keagamaan yang dianggap “terorganisir”.
Beberapa universitas pun menetapkan kode berpakaian informal. Mahasiswa Muslim diimbau tidak mengenakan busana serba hitam yang bisa diasosiasikan dengan simbol agama secara frontal.
Tak sedikit dari kami memilih untuk tampil sederhana, tidak mencolok. “Khumul” menjadi strategi aman—tetap Muslim, tanpa banyak sorotan.
Makanan Halal dan Strategi Bertahan
Tantangan lain adalah soal makanan. Restoran halal di Nanjing memang ada, tapi tak sebanyak di kota seperti Xi’an atau Beijing. Untungnya, komunitas Muslim etnis Hui punya peran besar dalam menyediakan makanan halal.