samudrafakta.com
Bedah Fakta

Menelusuri Jejak Pasukan Diponegoro di Utara Sungai Brantas, Jombang

Ilustrasi Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Sisa-sisa pasukannya diyakini bertahan dan menyebarkan semangat cinta tanah air di seluruh Indonesia, salah satunya di wilayah Ploso, Jombang, Jawa Timur. FOTO: Kemendikbud
JOMBANG–Perang Jawa, yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro dan laskar ulamanya, secara faktual-historis, sempat membuat pasukan Belanda kocar-kacir. Bahkan bikin bangkrut Negeri Kincir Angin. Ketika situasi berbalik, pasukan Diponegoro yang kocar-kacir. Namun, bukan berarti mereka menyerah. Mereka tetap berjuang. Semangat perjuangan mereka masih hidup hingga kini.

Tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock menjepit pasukan Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah. Setelah itu, siasat licik dijalankan. Pada bulan Syawal 1830, Pangeran Diponegoro diundang—katanya untuk berunding. Faktanya, Sang Pangeran malah ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafat di Benteng Rotterdam, 8 Januari 1855.

Perang Jawa, yang memakan korban 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa, pun berakhir.

Para kiai dan ulama pengikut Diponegoro banyak yang syahid di medan perang. Sisanya menyingkir ke pedalaman, membuka perkampungan, mendirikan masjid, lalu merintis pesantren.

Sebagian besar ulama dan santri mengganti nama dan identitasnya untuk menghindari intelijen Belanda yang terus memantau pergerakan sisa-sisa laskar Diponegoro.

Baca Juga :   Anti-Radikalisme Sejak Dalam Pikiran

Banyak kiai eks perwira tinggi dalam kesatuan tempur Pasukan Diponegoro memilih langkah diaspora dengan mendirikan masjid atau merintis pendirian pondok pesantren. Sebagian besar menyebar dari wilayah Kedu, Yogyakarta, dan Magelang, beralih ke wilayah timur. Salah satunya ke wilayah Jombang.

Buku-buku referensi sejarah yang diakui secara resmi di negara ini—seperti dua buku karya Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) (2014) dan Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855′ (2011), karya Zainul Milal Bizawie berjudul Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama Santri (1830-1945) (2016), dan buku karya Saleh As’ad Djamhari berjudul Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827- 1830. (2014)— nyaris tak mencatat tercatat sejarah para kiai tarekat yang berdiaspora ke Jombang, khususnya di wilayah lor atau utara Sungai Brantas.  

Peter Carey, dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, hanya menyebut kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru atau mursyid tarekat yang turut berperang bersama Diponegoro.

Baca Juga :   Membangun Hati, Melawan Narkolema

Sementara Zainul Milal Bizawie menyebut nama seperti Kiai Abdus Salam, yang biasa dijuluki Mbah Sechah, sebagai salah satu pimpinan pasukan dalam kancah Perang Jawa.

Menurut catatan Zainul, Kiai Abdus Salam bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan di sampingnya untuk 25 pengikutnya. Kelak, karena jumlah santrinya dibatasi 25 orang, pondok ini dikenal dengan pondok selawe—atau “dua puluh lama” dalam bahasa Jawa. Kadang juga disebut pondok telu, karena hanya ada tiga unit bangunan dalam areanya. Di kemudian hari, keturunan Bani Abdussalam mendominasi jaringan ulama pesantren di wilayah Jombang dan sekitarnya.

Artikel Terkait

Leave a Comment