samudrafakta.com

Membangun Hati, Melawan Narkolema

Lawan Narkolema dengan Hati yang Selamat

Bahaya narkolema ternyata telah disadari sejak jauh hari oleh Tarekat Shiddiqiyyah. Pemimpin tarekat, KH. Muhammad Muchtar Mu’thi, menganggapnya sebagai bahaya besar yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tarekat langsung membangun model pendidikan yang diklaim efektif untuk melawan serangan narkoba digital.

“Persoalan etika atau akhlak yang dihadapi bangsa saat ini, sebagaimana yang ditimbulkan oleh narkolema, bukan persoalan individu, melainkan persoalan umat. Paling tidak yang bertanggungjawab ialah keluarga sebagai struktur masyarakat terkecil. Dalam mengatasi ancaman narkolema, sudah semestinya pemimpin agama dan pemimpin negara ikut andil. Caranya dengan meningkatkan mutu pendidikan,” kata Kushartono, pengurus Organisasi Shiddiqiyyah (Orshid) yang dilibatkan dalam penyusunan program pendidikan bagi santri Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathon Minal Iman, pesantren yang didirikan oleh Tarekat Shiddiqiyyah di Desa Losari, Kecamatan Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

“Pendidikan adalah salah satu cara efektif untuk memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan baik dan buruknya suatu perbuatan. Tetapi, yang perlu diperhatikan adalah, pendidikan yang bagaimana? Menurut ajaran guru kami (KH. Muchtar Mu’thi—red), pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mampu membangun etika atau akhlak. Inilah yang perlu diterapkan, agar generasi penerus mampu memilah dan memilih antara perilaku yang baik dan buruk,” lanjutnya.

Baca Juga :   IMQ, Jenjang D3 Khas Pesantren Shiddiqiyyah yang Mengajarkan Pendidikan “Luar-Dalam”

Untuk merealisasikan misi pendidikan akhlak itu, sebagaimana keterangan Kushartono, KH. Muchtar Mu’thi mendirikan lembaga pendidikan bernama Bustan Tsamratul Qolbin Salim (BTQS) pada tahun 2010. Ini adalah lembaga pendidikan yang dibangun untuk membentuk karakter anak-anak yang mencintai Al-Quran, mahir dan  fasih membaca dan menulis Al-Quran, berjiwa Al-Quran, berakhlak mulia, dan mencintai Tanah Air Indonesia.

Salah satu suasana pendidikan santri di Pesantren Shiddiqiyyah. (Dok. THGB)

BTQS tidak hanya berkonsentrasi pada keterampilan membaca dan menulis (psikomotorik) atau pengetahuan kognitif sebagaimana lembaga pendidikan pada umumnya, tetapi fokus pada pembangunan hati anak didik. Lembaga ini menerapkan kebalikan dari metode pendidikan formal pada umumnya. Bila lembaga pendidikan lain fokus membentuk aspek kognitif terlebih dahulu, BTQS fokus pada pendidikan hati atau afeksi, baru setelahnya membangun aspek kognitif. Metode ini dipilih karena Tarekat Shiddiqiyyah percaya bahwa, “Hati yang selamatlah yang akan menyinari pikiran dan pengetahuan,” kata Kushartono.

Kurikulum dan sistem pengajaran BTQS, kata Kushartono, mengacu pada Al-Qur’an. Dalam pemahaman Tarekat Shiddiqiyyah—sebagaimana pemahaman sebagian besar umat Islam—Al-Quran bukanlah sekadar mushaf untuk dibaca, tetapi lebih dari itu, Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang menjadi mukjizat terbesar bagi Nabi Muhammad Saw.  Al-Qur’an diyakini memiliki kekuatan untuk mencuci jiwa, membentuk potensi hati, iman, dan takwa, sehingga ampuh jika digunakan untuk membentuk karakter anak sejak dini.

Baca Juga :   DIY dan Google Bekerja Sama untuk Mempermudah Kegiatan Belajar Mengajar 

Menurut Kushartono, KH. Muchtar Mu’thi—atau Kiai Tar—menerapkan model pendidikan seperti itu karena menilai bahwa hampir 90% pendidikan di Indonesia hanya mencerdaskan otak anak didik, tetapi membiarkan hatinya “sakit”. “Maka dari itu, menurut guru kami (Kiai Tar—red), yang perlu dibangun terlebih dahulu adalah hati, bukan kognisi,” jelas Kushartono.

Pendapat Sang Mursyid itu, imbuh Kushartono, mengacu kepada hadist Rasulullah Saw. yang berbunyi: “Bahwa baik buruk dunia ini  tergantung manusianya, dan manusia itu tergantung kepada hatinya. Apabila hati  manusia penghuni dunia ini baik, maka baiklah masyarakat dunia ini. Sebaliknya, jiwa hati manusia penghuni dunia ini buruk, maka buruklah dunia ini.” Menurut Kiai Tar, pada dasarnya manusia telah memiliki hati yang bersih sejak lahir. Hati yang bersih itulah yang menjadi “perangkat lunak” penggerak aktivitas manusia.

Selain mengaplikasikan nilai-nilai Al-Qur’an, metode pendidikan BTQS, menurut, Kushartono, juga untuk mengamalkan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang ada pada alinea ke-4, di mana ada frasa “mencerdaskan kehidupan bangsa” pada alinea tersebut.

Baca Juga :   Refleksi Cinta Tanah Air #2: Lawan Terorisme dengan Mensyukuri Kemerdekaan

“Apakah yang dimaksud mencerdaskan kehidupan bangsa? Jadi begini: jika hati seseorang sudah bersih, dia akan bisa menangkap cahaya Allah. Lalu, cahaya yang berhasil ditangkap itu menyinari seluruh tubuhnya, termasuk otak, dan otak akan mengalami upgrading. Inilah yang dimaksud dengan pendidikan yang bertujuan untuk membentuk hati yang selamat, atau qalbun salim. Sementara itu, yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini adalah, otak peserta didik memang cerdas, tetapi karena tidak mendapatkan nurullah di hatinya, kecerdasan itu malah menjadi penyakit,” papar Kushartono.

Di antara bentuk “penyakit” yang timbul dari kecerdasan yang tak diimbangi kesehatan hati itu, misalnya, seorang profesor atau doktor—yang notabene otaknya sangat cerdas—melakukan korupsi. Bisa terjadi demikian karena, menurut Kushartono, jika hati seseorang kurang bagus, apa pun yang ada ada padanya, termasuk kecerdasan, akan dipergunakan untuk hal-hal yang tidak baik.

Maka dari itulah, menurut Kushartono—mengutip Kiai Tar—yang paling penting saat ini adalah pendidikan yang berorientasi pada pembangunan kualitas hati. Dengan hati yang selamat, menurut Kushartono, anak-anak muda akan selamat dari bahaya narkolema.

(Wijdan)

Artikel Terkait

Leave a Comment