samudrafakta.com

Memahami Sejarah Kemerdekaan untuk Hindari Dosa Politik

Tarekat Shiddiqiyyah, yang dipimpin oleh KH. Muhammad Muchtar Mu’thi, sangat berhati-hati dalam memahami dan memaknai sejarah Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Salah dalam memahami sejarah kemerdekaan, menurut ajaran tarekat ini, adalah “dosa politik”.

Dalam Tasyakuran Perayaan Isra’ Mikraj dan Hari Shiddiqiyyah ke-33, 17 Februari 2023 malam, atau bertepatan dengan malam 27 Rajab 1444 H, Musryid Tarekat Shiddiqiyyah KH. Muhammad Muchtar Mu’thi membabar bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia merupakan rahmat dan berkat agung dari Allah Swt. Tidak semua negara mendapatkan anugerah ini.

Menurut ulama yang juga akrab dipanggil Kiai Tar itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak pernah dijajah oleh siapa pun. Yang dijajah selama 434 tahun—sejak imperialis Portugis menguasai Malaka tahun 1511—bukan NKRI. Yang dijajah adalah Bangsa Indonesia, dalam pengertian sekelompok manusia yang memiliki kesamaan identitas bahasa, budaya, agama dan sejarah—bukan sekumpulan manusia yang diikat oleh aturan administratif sebagai konsep sebuah negara. Sedangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 bukanlah hadiah dari penjajah Portugis, Belanda, maupun Jepang. Kemerdekaan Indonesia adalah rahmat dan berkat khusus dan agung yang dianugerahkan Allah—yakhtasu bi rahmatihi man yasa’.

Diksi “berkat” atau “berkah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Sesuatu mendapatkan keberkahan jika dia mendatangkan kebahagiaan, kebaikan, dan manfaat, baik bagi diri sendiri dan orang lain. Jika suatu kebaikan hanya bermanfaat untuk diri sendiri, sedangkan orang lain tidak mendapatkannya, maka, menurut Kiai Tar, itu belumlah menjadi berkah. Apa saja yang dimiliki seseorang bisa menjadi berkah—atau orang itu bisa mendapat berkahnya—jika mau berbagi dengan orang lain.

Baca Juga :   Gempa Diperkirakan Berkaitan dengan Posisi Tata Surya

Berkah atau barakah dalam bahasa Arab juga bisa dijelaskan sebagai ziyadatul khair, yang berarti “bertambahnya kebaikan” (Imam Al-Ghazali, Ensiklopedia Tasawuf, hal. 79). Menurut para ahli Bahasa Arab, di antaranya Ibn Mandzur, al-Fayyumi, dan al-Fairuz Zabadi, kata “al-barakah” memiliki arti “berkembang”, “bertambah”, dan “kebahagiaan.” Dalam Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi disebutkan bahwa berkah memiliki dua arti, yaitu: (1) tumbuh, berkembang, atau bertambah; dan (2) kebaikan yang berkesinambungan.

Sedangkan dalam kitab Riyadus Shalihin dijelaskan bahwa barakah adalah ziyadatul khair ‘ala al ghair—sesuatu yang dapat menambah kebaikan kepada sesama. Para ulama juga menjelaskan makna berkah sebagai segala sesuatu yang banyak dan melimpah, mencakup berkah-berkah material dan kerohanian, seperti keamanan, ketenangan, kesehatan, harta, anak, dan usia.

Dalam Al-Qur`an, kata “barakah” hadir dengan beberapa makna, di antaranya, “kesenangan”, “kebaikan”, serta “banyak dan bertambahnya kebaikan”. Pada QS. Al-Dukhan: 2, Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an turun pada malam yang diberkahi (mubarakah). Kata “mubarakah” dalam ayat ini dapat dipahami dengan jelas jika dikaitkan dengan ayat-ayat lain yang berbicara mengenai masalah yang sama, misalnya QS. Al-Qadr: 1. Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam qadr.

Pada malam itu, Allah memberikan pahala berlipat ganda kepada orang yang mengerjakan ibadah. Nilai ibadah malam itu diyakini oleh umat Islam lebih baik dari nilai ibadah seribu bulan. Dengan mencari munasabah antara ayat-ayat seperti ini, maka dapat dipahami bahwa kata mubarakah dalam ayat tersebut merujuk kepada kebaikan Allah yang diberikan kepada orang-orang yang beribadah pada malam tersebut—yakni kebaikan berlipat ganda bila dibandingkan dengan pahala ibadah pada malam-malam lainnya.

Baca Juga :   Perhatikan, Inilah Bahaya Makan Mi Instan dengan Nasi

Sedangkan, rahmat atau rahmah berarti “murah”, “kasih-sayang”, “cinta”, “santun”, atau “perlindungan”. Rahmat adalah kemurahan atau pemberian Allah. Rahmat Allah bagi manusia adalah berupa rezeki dan kemaslahatan hidup di dunia. Seluruh makhluk mendapatkan rahmat Allah, tak terkecuali, termasuk orang-orang yang tidak beriman kepada-Nya.

Rahmat ada dua macam, yaitu ar-rahman (الرحمن ) dan ar-rahim (الرّحيم ). Ar Rahman berarti Maha Pengasih, di mana Allah selalu memberi karunia atau fasilitas hidup kepada hamba-Nya—manusia, jin, hewan, dll.—di dunia, baik yang ingkar maupun taat. Kemurahan Tuhan tidak terbatas pada golongan tertentu. Siapa saja yang menginginkannya dan layak, maka dia akan memperoleh karunia itu.

Bangsa Indonesia merdeka pada bulan Agustus, atau bulan ke-8 dalam tahun Masehi. Sementara dalam Al-Qur’an, surah ke-8 adalah QS. Al-Anfal, yang berarti “Harta Rampasan Perang”. Ayat ke-17 surah tersebut—di mana 17 adalah tanggal kemerdekaan Bangsa Indonesia—dalam bahasa Indonesia berbunyi: “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Dari redaksional ayat tersebut, jika dikaitkan dengan proses hadirnya kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia pada tanggal 17 bulan 8, maka bisa ditafsirkan bahwa kemerdekaan tersebut bukanlah hanya sebuah hadiah, tetapi dihasilkan oleh sebuah perjuangan dan pertolongan, berkat, dan rahmat spesial dari Allah Swt.

Baca Juga :   "Mlaku Ndodok", Adab yang Dipelajari di Ndalem Pojok

Artikel Terkait

1 comment

Agama Bukan Candu, Tetapi Booster Kemandirian Ekonomi – samudrafakta.com 28 Februari 2023 at 15:50

[…] Doktrin cinta tanah air Tarekat Shiddiqiyyah juga diaplikasikan dengan cara membangun kemandirian ekonomi. Upaya membantu menggairahkan aktivitas perekonomian negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus mencegah penyebaran ideologi teror atas nama agama. […]

Reply

Leave a Comment