Aktivis buruh yang tewas dibunuh pada 1993 itu akhirnya diakui negara atas perjuangannya membela hak-hak pekerja.
Presiden Prabowo Subianto menetapkan nama-nama penerima gelar Pahlawan Nasional 2025 dalam upacara di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
Salah satu nama yang mencuri perhatian publik: Marsinah, aktivis buruh yang dikenal berani menuntut keadilan di masa ketika suara pekerja nyaris tak terdengar.
Marsinah bukan pejabat, bukan tokoh besar. Ia hanyalah buruh pabrik jam tangan PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo. Tapi keberaniannya melawan ketidakadilan membuatnya dikenang sebagai simbol perjuangan kelas pekerja di Indonesia.
Pemogokan yang Mengubah Segalanya
Semua bermula dari Surat Edaran Gubernur Jawa Timur Soelarso Nomor 50/1992, yang meminta perusahaan menaikkan gaji karyawan sebesar 20 persen.
Para buruh bersuka cita, tapi para pengusaha resah. Mereka menolak kenaikan dengan alasan beban biaya.
Marsinah bersama rekan-rekannya tak tinggal diam.
Pada 2 Mei 1993, ia ikut rapat buruh yang merencanakan aksi mogok pada 3–4 Mei 1993. Mereka menuntut 12 hal, termasuk kenaikan upah sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 30 /1992, perbaikan tunjangan, jaminan sosial, cuti, dan penghentian intimidasi terhadap buruh.
Aksi itu berjalan damai dan menghasilkan kesepakatan tertulis. Namun, esok harinya, 13 buruh dipanggil ke Kodim 0816 Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri. Mereka dituduh menghasut karyawan lain.
Penculikan dan Kematian Tragis
Marsinah, yang menuntut penjelasan atas nasib rekan-rekannya, mendatangi Kodim pada 5 Mei 1993. Malam itu, ia hilang.
Empat hari kemudian, 9 Mei 1993, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di Nganjuk — sekitar 200 kilometer dari pabriknya — dengan luka parah akibat penyiksaan.
Hasil forensik menyatakan ia tewas sehari sebelumnya.
Kasus ini mengguncang Indonesia.
Buku Campur Tangan Militer dan Politik Perburuhan (Alex Supartono, YLBHI, 1999)mencatat detail penyelidikan yang berliku: mulai dari pengakuan yang diperoleh lewat penyiksaan, hingga kegagalan penegak hukum menemukan pelaku sesungguhnya.
Mahkamah Agung akhirnya membebaskan para “kambing hitam”, dan pembunuh Marsinah tak pernah diadili.





