samudrafakta.com

Manunggaling Kawula-Gusti

Manunggaling kawula-Gusti, secara sederhana, bisa diartikan sebagai “menyatukan kehendak kita dengan kehendak Allah”. Orang disebut manunggal atau bersatu dengan Gustinya ketika keinginannya sejalan dengan keinginan Tuhan.


Misalnya, ketika kita shalat karena merasa itu adalah perintah Allah yang harus kita jalankan, berarti level keinginan kita masih belum selaras dengan keinginan Allah. Sebab, kita mengerjakannya karena kita diwajibkan untuk mengerjakannya, bukan mengerjakannya karena keinginan kita sendiri. Kalau begitu, rasanya agak berat.

Tetapi jika kita sendiri yang ingin shalat, karena kita sadar jika shalat itu juga kepentingan dan kebutuhan kita, dan kendati tidak diwajibkan pun kita tetap ingin shalat, itu berarti keinginan kita dan keinginan Allah sudah selaras. Keselarasan keinginan manusia dengan keinginan Tuhan itulah yang di Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti. Dalam agama, mungkin inilah level yang disebut “ikhlas”, atau level “cinta Ilahiah”. Ketika orang sudah cinta, “aku” sudah tidak ada, yang ada hanya “Engkau”.

Menjelaskan manunggaling kawula-Gusti itu tidak harus rumit. Kadang kita menjelaskannya seolah-olah diri kita yang jasad ini bersatu dengan Allah, sehingga akhirnya muncul anggapan kepercayaan itu musyrik. Sebenarnya tidak seperti itu. Manunggaling itu adalah bersatunya keinginan Allah dengan keinginan hamba. Kalau keinginan sudah bersatu, berarti yang menang adalah keinginan Allah. Sebab, ibarat orang jatuh cinta, kita akan memenuhi semua keinginan yang kita cintai—terutama keinginan Allah yang sudah selaras dengan keinginan kita.

Baca Juga :   Jangan Lupa Menggunakan Akal Sehat

Untuk memahami pandangan ini dari sudut pandang Islam, menurut saya, kita bisa menggunakan ayat-ayat berikut ini:

“Wa mā tasyā’ūna illā ay yasyā’allāh(u), innallāha kāna ‘alīman ḥakīmā(n) (Kamu tidak menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana)”. (QS. Al-Insan [76]: 30). Maksudnya, pada hakikatnya segala kehendak yang berlaku adalah kehendak Allah.

Wallahu’alam.

[Disadur dari ceramah Dr. Fahruddin Faiz, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta]

Artikel Terkait

Leave a Comment