Mampukah Ahmad Dofiri Mengubah Wajah Polri?

Ilustrasi. - Sora/Samudrafakta
Ahmad Dofiri ditunjuk sebagai penasihat khusus reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto. Figur kredibel ini diharapkan jadi arsitek perubahan. Tapi, tanpa mandat jelas, langkahnya rawan jadi sekadar retorika.

__Opini

Nama Ahmad Dofiri kembali mencuri perhatian publik. Setelah resmi pensiun pada Juni 2025, mantan Wakapolri itu kini dipanggil lagi ke panggung nasional.

Presiden Prabowo Subianto menunjuknya sebagai penasihat khusus untuk proyek reformasi Polri—agenda besar yang sudah lama ditunggu tapi berkali-kali kandas di jalan.

Publik pun bertanya-tanya: apakah kali ini akan berbeda, atau sekadar mengulang janji yang tak pernah ditepati?

Dari Sidang Sambo ke Istana

Ahmad Dofiri bukan sosok sembarangan. Lahir di Indramayu, 4 Juni 1967, ia tercatat sebagai lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1989 dengan penghargaan Adhi Makayasa. Kariernya menanjak mulus: dari Kapolres Bandung, Kapolda Banten dan DIY, hingga jabatan puncak sebagai Kabaintelkam, Irwasum, dan Wakapolri.

Bacaan Lainnya

Nama Dofiri benar-benar melejit saat memimpin sidang etik Ferdy Sambo pada 2022. Putusan tegas memecat Sambo dipuji publik sebagai bukti integritas dan keberaniannya. Dari momen itulah, reputasi Dofiri lekat dengan kata “berani bersih-bersih”.

Kini, di luar struktur resmi, ia kembali diberi mandat. Bedanya, kali ini taruhannya jauh lebih besar: mengawal reformasi Polri.

Reformasi di Persimpangan

Kepolisian sudah lama jadi sorotan. Catatannya panjang: dari kekerasan terhadap demonstran, penyalahgunaan wewenang, rapuhnya pengawasan internal, hingga lemahnya akuntabilitas.

Presiden Prabowo merespons dengan mengeluarkan Keppres pembentukan Tim Reformasi Polri. Targetnya jelas: merevisi UU Polri, memperketat pengawasan, dan memperbaiki kultur aparat.

Namun koalisi masyarakat sipil masih skeptis. Mereka menuntut reformasi menyeluruh, bukan kosmetik. Tim reformasi harus independen, melibatkan akademisi dan aktivis HAM, serta menghasilkan rekomendasi yang mengikat.

Di sinilah posisi Dofiri jadi strategis. Ia dinilai paham betul seluk-beluk Polri, dan sebagai purnawirawan, ia bebas bicara tanpa tekanan rantai komando.

Antara Harapan dan Skeptisisme

Masalahnya, posisi penasihat khusus tidak otomatis punya kewenangan eksekutif. Tanpa dukungan DPR, revisi UU bisa mandek. Tanpa komitmen politik jangka panjang, reformasi bisa layu di tengah jalan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *