samudrafakta.com

Investor Asing Dirayu agar ‘Periuk Indonesia’ Terus Menyala di IKN?

Presiden Jokowi meninjau pembangunan dasar yang sudah dimulai di Ibu Kota Nusantara (IKN) didampingi para menteri dan Ketua DPR Puan Maharani. Presiden Joko Widodo atau Jokowi meminta para investor untuk tidak ragu menanamkan modalnya di Ibu Kota Negara atau IKN Nusantara. FOTO: Dok. Biro Pers Sekretariat Presiden
JAKARTA—Proyek Ibu Kota Nusantara atau IKN terus dikebut di tengah napas pemerintah yang makin terengah-engah. Investor, terutama dari pihak asing, terus dirayu. Metodologi celaka dalam membangun kekuatan ekonomi.

Mahbub Junaedi, salah satu sastrawan besar Indonesia pernah menulis: “Pemerintah yang baik ialah yang berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, bukan berorientasi kepada sekelompok kecil tuan-tuan besar yang hidup di gedung bertingkat dilingkungi kaca seperti permen dalam peles.”

Gagasan yang sangat bagus. Idealnya sebuah negara memang seperti itu. Namun, sejarah Indonesia mencatat bahwa sejauh ini gagasan seperti itu hanya tinggal gagasan. Kenyataan belum berjalan pararel dengannya.

Karpet Merah untuk Korporasi Asing

Jauhnya panggang dari api idealisme dan kenyataan pengelolaan ekonomi negara itu tak lepas dari adanya ‘kecelakaan sejarah’ dalam membangun fondasi perekonomian Indonesia.

Sebuah buku yang tampaknya jarang sekali dibaca oleh orang Indonesia menceritakan bagaimana fondasi ekonomi negara ini dibangun oleh ’kedermawanan yang ajaib’, hingga akhirnya terjerembab dalam dilema ekonomi tak berkesudahan. Buku itu adalah Cold War History: Keep the Indonesian Pot Boiling, Western Covert Intervention in Indonesia, October 1965-March 1966 (2005).

Baca Juga :   Pemindahan Ibu Kota Langkah Indonesia Bertransformasi

Buku yang ditulis David Easter itu menceritakan babak paling dramatis dalam perubahan fundamental sistem ekonomi Indonesia dari era Orde Lama ke Orde Baru. Menyusul peralihan tampuk kekuasaan Indonesia dari Sukarno ke Soeharto, ketika ekonomi domestik kita sedang remuk, diselenggarakanlah sebuah pertemuan antara para ekonom Orde Baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, November 1967.

Korporasi multinasional diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, antara lain, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan.

Dalam pertemuan tersebut para ekonom negeri ini menunjukkan ‘kedermawanan’ yang luar biasa. Tim Ekonomi Indonesia, sebagaimana dicatat Easter, menawarkan tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar. Sementara kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi pada perusahaan asing bagaikan rampasan perang. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis.

Baca Juga :   Vaksin Booster Kedua Tidak Menjadi Syarat Perjalanan

Sejak seremonial ‘bagi-bagi rezeki’ di Eropa itu, korporasi-korporasi Barat yang sudah sejak lama berancang-ancang menggerogoti Indonesia, tapi terbentur tembok kebijakan Sukarno, langsung membabibuta. Kemaruk. Seluruh kekayaan alam Indonesia yang indah ini langsung dieksploitasi hingga akar-akarnya.

Fakta serupa juga didokumentasikan dengan apik oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World. Video dokumentasi ini menggambarkan bagaimana awal Indonesia memasrahkan diri di telapak kaki investor liberal asing.

Artikel Terkait

Leave a Comment