Ketika dunia terasa terlalu berisik, Rene Descartes mengajarkan satu hal sederhana: ragukan dulu, baru percaya.
Pikiran kita kini mudah sesak. Setiap hari, berita berseliweran, notifikasi berdentang, dan semua orang merasa paling benar. Tanpa sadar, kepala kita penuh dengan “apel busuk”—informasi yang masuk tanpa sempat disaring.
Empat abad lalu, filsuf Prancis Rene Descartes sudah memberi solusi: bersihkan pikiran dengan belajar meragukan. “Dubium sapientiae initium,” tulisnya. Ragu adalah awal dari kebijaksanaan.
Descartes dikenal sebagai “Bapak Filsafat Modern” karena mengajarkan cara berpikir jernih dan logis. Ia menata akal dengan empat langkah: jangan mudah percaya sebelum terbukti, pecah masalah jadi bagian kecil, susun kemungkinan, dan selesaikan dari yang mudah ke rumit. Dari sini lahir metode berpikir ilmiah—dan sekaligus cara menjaga kewarasan.
Dalam dunia digital yang riuh, nasihatnya terasa relevan. “It is not enough to have a good mind; the main thing is to use it well.” Punya akal sehat tak cukup—kita harus tahu cara menggunakannya. Ragukan berita, uji kebenaran, lihat tindakan, bukan sekadar kata.
Descartes mengingatkan, jangan biarkan emosi jadi sopir pikiran. Terlalu kagum, marah, atau sedih membuat akal kabur. Ia menulis, “Whenever anyone has offended me, I try to raise my soul so high that the offense cannot reach it.” Naiklah lebih tinggi, jangan terjebak debat.
Di akhir hidupnya, ia menulis: “Masyarakat yang berpura-pura bodoh akan dipenuhi kebodohan.” Maka, di era kebisingan ini, mungkin kebijaksanaan justru berarti diam sejenak—menepi, dan kembali belajar berpikir.
Baca ulasan selengkapnya di sini.





