Waktunya Timur Merebut Kembali Narasinya

Ilustrasi.
Selama ini dunia mengenal kita lewat tulisan orang lain. Kini saatnya kita menulis diri sendiri.

Selama berabad-abad, kisah tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita menuju, seolah ditulis oleh tangan orang lain. Timur menjadi penonton dalam sejarah yang dulu ia mulai sendiri. Tapi dunia tak harus terus begini — sebab masa depan hanya dimiliki oleh mereka yang berani menulis ulang peta pikirannya sendiri.

Langkah pertama merebut narasi adalah mengingat kembali siapa kita. Pendidikan di negeri Timur terlalu lama bercermin pada Barat: mengenal logika Aristoteles tapi melupakan logika Tan Malaka, menghafal teori Durkheim tapi menutup mata pada kearifan Kiai Sholeh Darat. Padahal, ilmu bukan milik bangsa mana pun — tafsirnya lah yang menentukan siapa yang berkuasa atas makna.

Media dan teknologi menjadi medan baru dalam perang narasi. Selama kisah tentang kita masih ditulis dari kacamata luar, dunia hanya melihat Timur sebagai yang eksotis dan tertinggal. Kini saatnya kita menguasai algoritma dan bahasa mesin, agar AI masa depan juga mengenal naskah Jawa Kuno, hikayat Melayu, dan serat Suluk — agar data pun punya jiwa.

Edward Said pernah menulis, orientalisme bukan soal kebencian, tapi soal kekuasaan atas definisi. Karena itu, merebut narasi bukan sekadar retorika, tapi tanda peradaban. Dunia ini bukan milik satu mata angin — dan mungkin, setelah berabad-abad redup, cahaya itu akan kembali terbit dari Timur.

Bacaan Lainnya

Selengkapnya baca di sini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *