samudrafakta.com

Sukarno dan Bulan Muharram (2–Habis): Dua Pusaka Bung Karno Dijamas Setiap Akhir Bulan Suro

Presiden Sukarno adalah seorang insinyur yang rasional. Meski begitu, kehidupan sehari-harinya tak bisa lepas dari hal-hal yang bersifat spiritual-budaya, tak jarang beraroma “mistis”. Beberapa informasi menyebut dia punya sejumlah benda pusaka. Dua di antaranya biasa dicuci—atau “dijamas” dalam istilah Jawa—setiap akhir bulan Muharram.

Beberapa benda pusaka koleksi Sukarno dibawa ke istana saat dia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, ditempatkan di wadah khusus, dan dirawat dengan baik. Sedangkan beberapa lainnya ditinggalkannya di tempat tertentu, salah satunya di Ndalem Pojok, rumah masa kecil Sukarno yang berada di Desa Pojok, Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ada tombak dan satu keris yang ditinggalkannya di sana.

Benda pusaka yang disimpan di Ndalem Pojok tersebut rutin dijamas pada setiap akhir Bulan Muharram, atau Bulan Suro dalam istilah penanggalan Jawa. Prosesi jamasan pusaka biasanya digelar dalam bentuk kenduri atau selamatan mengundang masyarakat sekitar Ndalem Pojok untuk berdoa dan menjadi saksi ritual jamasan.

Menurut Kushartono, pengelola situs Rumah Persada Sukarno Ndalem Pojok, sekaligus cucu pemilik Ndalem Pojok RM Panji Soemosewojo, kedua pusaka Sukarno tersebut diterima dari seorang kepala desa di daerah Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kedua benda tersebut diberikan kepada Bung Karno dengan cara yang unik.

Baca Juga :   Prabowo Subianto Pernah Menerima Penghargaan "Bintang Soekarno" pada 2018, Diingatkan Supaya Tidak Menjadi Antek Asing dan Gemar Menumpuk Utang

Saat hendak menyerahkan kedua pusaka tersebut kepada Sukarno, kepala desa tersebut terlebih dulu berjoget-joget sambil mengucurkan air mata. Peristiwa ini terjadi di tahun 1947, saat Bung Karno sebagai Presiden RI melakukan kunjungan kegiatan pemberantasan buta huruf di sebuah balai desa di Kabupaten Grobogan bersama rombongan dan RM Sajid Soemodiharjo selaku Kepala Rumah Tangga Istana.

Sekadar informasi, leluhur Bung Karno pernah tinggal dan menetap di Grobogan, tepatnya  di Desa Kalirejo, Kecamatan Wirosari. Ayah Sukarno, Raden Soekeni, lahir di desa itu.

Bung Karno sendiri giat mengampanyekan pemberantasan buta huruf sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Dia prihatin karena masih banyak rakyat Indonesia yang buta aksara. Program tersebut berlangsung sepanjang tahun 1945 – 1962.

Dia turun tangan langsung dalam upaya itu. Sukarno selalu menyebut jika program pemberantasan buta huruf merupakan penanda majunya sistem pendidikan di Indonesia. Program pemberantasan buta huruf berhasil mengejar ketertinggalan yang diakibatkan oleh politik edukasi Belanda yang kala itu membentuk stratifikasi pendidikan tumpang tindih tak setara.

Baca Juga :   Sukarno dan Kuliner (3): Pecinta Menu Indonesia ‘Next Level’, Agak ‘Alergi’ Makanan Barat

Dalam rangka pemberantasan buta huruf inilah Sukarno mengunjungi tanah leluhurnya di Grobogan. Ketika singgah di Kecamatan Purwodadi, Grobogan, tiba-tiba dia kebelet kencing. ”Pak aku kebelet pipis ora iso ditahan iki (Pak, aku kebelet kencing gak bisa ditahan ini),”  kata Bung Karno,  sebagaimana diceritakan Kushartono—meniru ucapan RM Sajid, adik Raden Soemosewojo.

RM Sajid segera memanggil ajudan, yang kemudian mengantarkan Bung Karno ke sebuah rumah yang terletak tak jauh dari balai desa tempat kegiatan berlangsung. Begitu Bung Karno menginjakkan kaki di rumah tersebut, seorang pria yang kemudian diketahui adalah kepala desa setempat langsung berjoget dengan wajah berurai air mata.

“Tentu Bung Karno terheran-heran. Eyang  kami yang waktu itu mendampingi  Bung Karno ikut terheran-heran,” terang Kushartono.

Artikel Terkait

Leave a Comment