Kita sering merasa tertinggal, padahal mungkin hanya karena memakai penggaris orang lain.
Sejak abad ke-20, hampir semua negara menakar kemajuannya lewat satu angka: Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP). Angka ini dihasilkan dari perhitungan nilai produksi, pendapatan, dan pengeluaran nasional.
Jika naik, negara disebut “maju”; jika turun, langsung dicap “krisis”. Padahal, ukuran itu hanyalah kesepakatan lembaga global seperti IMF, Bank Dunia, dan PBB—bukan kebenaran mutlak.
Masalahnya, GDP lahir dari pandangan dunia Barat yang menilai kemajuan lewat konsumsi dan pertumbuhan materi. Negara yang mengejar angka ini sering kali menebang hutan, menyingkirkan nelayan, dan memperlebar jurang sosial—namun tetap disebut “sukses”. Akibatnya, pembangunan lebih berorientasi pada statistik ketimbang kesejahteraan nyata.
Meski tak ada hukum yang mewajibkan penggunaan GDP, tekanan politik dan finansial membuat negara sulit menolak. Standar ini menjadi alat kontrol global: menentukan siapa yang dianggap berhasil, siapa yang gagal, dan siapa yang harus “dibimbing” dengan resep ekonomi tertentu.
Namun, beberapa negara mulai melawan arus. Bhutan punya Gross National Happiness, sementara Bolivia dan Ekuador mengenalkan konsep Buen Vivir.
Indonesia sejatinya punya modal budaya untuk menciptakan ukuran sendiri—berbasis gotong royong, keseimbangan, dan rasa syukur. Sebab kemajuan bukan cuma soal menambah angka produksi, tapi memperdalam kemanusiaan.
Pertanyaannya kini: ekonomi kita tumbuh ke arah mana, dan untuk siapa?
Selengkapnya baca di sini.





