Sekolah Rakyat: Jangan Berhenti di Gimmick Digital dan Seragam Mewah

ILUSTRASI ini dibikin dengan AI. | Samudrafakta
Sekolah Rakyat jangan berhenti jadi proyek euforia. Pendidikan bukan soal seragam atau laptop, tapi soal konsistensi dan keadilan bagi semua anak Indonesia, bukan hanya 0,1 persen.

__Editorial

Sekolah Rakyat resmi hadir per 14 Juli 2025, dengan gemerlap janji dan fasilitas. Laptop pribadi, asrama nyaman, delapan set seragam, makanan bergizi, hingga pemetaan bakat berbasis DNA dan kecerdasan buatan. Ini bukan sekadar reformasi pendidikan—ini revolusi gaya baru.

Tapi, euforia ini tak boleh membutakan kita dari kenyataan. Pemerintah menggelontorkan Rp5 triliun untuk 50.000 siswa—itu artinya hanya 0,1 persen dari total pelajar di Indonesia yang menikmati fasilitas ini. Lalu, bagaimana dengan 99,9 persen lainnya yang masih belajar di ruang kelas rusak, dengan guru honorer yang digaji di bawah standar hidup layak?

Inilah masalahnya. Sekolah Rakyat tampak seperti mercusuar: indah dari jauh, tapi tak menyinari sekeliling. Alih-alih memperkuat sistem yang sudah ada, program ini justru menciptakan jalur paralel di luar koordinasi Kementerian Pendidikan. 

Forum Guru Sertifikasi Nasional (FGSNI) menyebutnya sebagai proyek di luar sistem—dengan tiga kementerian berjalan di atas rel masing-masing.

Bacaan Lainnya

Tentu, kita tak bisa menafikan bahwa anak-anak dari keluarga miskin ekstrem butuh perhatian khusus. Tapi pendidikan bukan soal showcase. Sekolah bukan ajang pamer teknologi atau seragam. Pendidikan adalah proses panjang yang menuntut konsistensi, kesinambungan, dan pemerataan.

Saat pemerintah memberi gaji tinggi kepada guru Sekolah Rakyat yang statusnya kontrak, tapi membiarkan jutaan guru honorer tetap hidup dalam ketidakpastian, rasa keadilan publik pun terkoyak. Di mana penghargaan terhadap mereka yang sudah bertahun-tahun mengabdi? Ini bukan hanya soal regulasi ASN, ini soal etika kebijakan.

Lagi pula, sistem berbasis AI dan pemetaan bakat DNA tak akan berarti jika tak ditopang kualitas guru yang terjaga, sarana belajar yang layak di semua sekolah, dan visi pendidikan nasional yang utuh. Sekolah Rakyat bisa jadi pelopor, tapi tidak boleh jadi pengecualian mewah yang mengabaikan kebutuhan sekolah lain.

Pemerintah perlu memastikan bahwa Sekolah Rakyat bukan sekadar proyek unggulan berlabel sosial. Jika tidak ditopang dengan arah kebijakan pendidikan yang menyeluruh dan inklusif, maka program ini hanya akan jadi etalase kemewahan di tengah krisis pendidikan yang sistemik.

Mendidik rakyat bukan hanya tentang memberi laptop atau seragam. Ini tentang memperkuat fondasi pendidikan dari bawah, merawat yang sudah ada, dan memberi keadilan kepada semua pihak—terutama guru yang selama ini menopang sistem dengan pengorbanan besar.

Sekolah Rakyat harus membuktikan diri sebagai sistem pendidikan yang konsisten, bukan sekadar proyek pencitraan. Jika ingin menuntaskan kemiskinan melalui pendidikan, maka jangan membangun menara gading—bangunlah jembatan. 

Untuk semua.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *