Puasa adalah Tradisi Asli Nusantara yang Disempurnakan oleh Islam

Anak-anak Jawa zaman dahulu mengaji di surau. Masyarakat Jawa sudah mengenal tradisi puasa sejak jauh sebelum Islam datang. (Dok. Istimewa)
Banyak catatan studi sejarah menyebut bahwa puasa merupakan tradisi asli masyarakat Nusantara. Islam hadir menyempurnakan konsep, praktik, dan orientasinya.
  • Artikel ini merupakan publikasi ulang, dengan beberapa penyuntingan untuk menyesuaikan dengan data-data terbaru.

Lelaku menghindari makan, minum, hubungan seksual, bahkan tidur pada beberapa waktu tertentu ini sudah biasa dikerjakan orang-orang di negeri ini sejak berabad-abad lalu.

Sejarawan Agus Sunyoto, dalam Atlas Wali Songo, menyebut bahwa masyarakat Jawa kuno sudah mengenal berbagai macam puasa, seperti puasa mutih (menghindari konsumsi apa pun kecuali nasi dan air putih); patigeni (tak makan dan minum serta mengurung diri dalam ruangan tanpa pencahayaan sama sekali); ngrowot (tidak makan apa pun kecuali buah-buahan); dan ngebleng (tidak makan, tidak minum, tidak tidur).

Puasa ‘old version’ itu dikerjakan terkait kepercayaan religi lama masyarakat Nusantara, seperti Kapitayan—yang oleh pengetahuan Eropa disalahpahami sebagai aliran animisme dan dinamisme.

Artinya, puasa sebenarnya bukan produk baru dari agama-agama Ibrahimi atau Samawi—termasuk Islam—karena ketika ritual menahan diri itu mulai dikerjakan di sini, Islam belum dikenal oleh masyarakat Nusantara.

Bacaan Lainnya

Ketika Islam masuk, lelaku puasa Nusantara pun ‘berasimiliasi’ dengan syariat agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw., sehingga menjadi praktik ritual ibadah yang lebih sempurna. Ada peran besar Majelis Wali Songo dalam proses ‘penyamaan frekuensi’ puasa tersebut.

Menurut Turita Indah Setyani, pengajar Program Studi Jawa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), sebagaimana dilansir Kumparan pada 28 April 2020, Majelis Wali Songo memiliki peran cukup sentral dalam memperkenalkan konsep ibadah puasa Ramadhan kepada masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga disebut punya peran paling besar.

Untuk mengajarkan konsep puasa sebagaimana ajaran Islam, menurut Tirta Indah Setyani, Sunan Kalijaga mementaskan lakon carangan—semacam pertunjukan wayang kulit—berjudul Arjuna Tapa di Gunung Indrakila.

Lakon carangan adalah hasil kreativitas budaya Sunan Kalijaga, yang sengaja dibikin untuk menyampaikan ajaran rukun Islam dengan memanfaatkan karakter lima anggota keluarga Pandawa.

Dalam narasi lakon carangan, Sunan Kalijaga mengisahkan bahwa si sulung Yudhistira memiliki pusaka bernama Jamus Kalimasada. Nama pusaka ini merupakan simbolisasi yang dipilih Sunan Kalijaga untuk mengajarkan “kalimat Syahadat”.

Bima, putra kedua, dijadikan simbol shalat lima waktu. Arjuna, putra ketiga, diumpamakan sebagai perlambang puasa. Sementara si kembar Nakula dan Sadewa menjadi simbol dari zakat dan berhaji.

Dalam lakon carangan, Sunan Kalijaga menceritakan kisah Arjuna—yang menjadi simbol puasa—yang berangkat bertapa ke puncak Gunung Indrakila untuk mendapat anugerah dari Sang Hyang Widhi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *