Presiden tegaskan proyek kereta cepat adalah layanan publik, bukan bisnis mencari untung
Presiden Prabowo Subianto menegaskan pemerintah akan bertanggung jawab penuh terhadap penyelesaian utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh. Ia menyebut persoalan keuangan proyek tersebut tidak perlu dikhawatirkan karena sudah dipelajari secara mendalam.
“Enggak usah khawatir ribut-ribut Whoosh, saya sudah pelajari masalahnya, tidak ada masalah. Saya tanggung jawab nanti Whoosh itu semuanya. Indonesia bukan negara sembarangan, kita hitung enggak masalah itu,” kata Prabowo di Stasiun Tanah Abang Baru, Jakarta, Selasa (4/11).
Prabowo menegaskan bahwa seluruh tanggung jawab proyek infrastruktur strategis pada akhirnya berada di pundak presiden. Ia juga meminta PT KAI dan masyarakat tidak cemas terhadap keberlanjutan proyek tersebut.
“PT KAI tidak usah khawatir. Kita berjuang untuk rakyat, semua teknologi dan sarana itu tanggung jawab bersama, di ujungnya tanggung jawab Presiden RI,” ujarnya.
“Jangan Politisasi Whoosh”
Prabowo meminta semua pihak berhenti mempolitisasi polemik proyek Whoosh. Ia menilai ada pihak tertentu yang ingin menimbulkan kecemasan publik.
“Jangan kita menari di gendang orang. Mungkin ada pihak-pihak dari entah di mana yang ingin selalu menimbulkan kecemasan rakyat. Tenang-tenang saja,” katanya.
Menurut Prabowo, transportasi publik seperti Whoosh tidak bisa diukur hanya dari sisi untung dan rugi, melainkan dari manfaat sosial dan pelayanan publiknya.
“Semua public transport di seluruh dunia jangan dihitung untung-rugi. Hitung manfaatnya untuk rakyat. Di seluruh dunia begitu, ini namanya public service obligation,” tegasnya.
Ekonom Soroti Dugaan “Rencana Jahat”
Sementara itu, ekonom dari Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menilai ada indikasi “rencana jahat” di balik pengalihan proyek kereta cepat dari Jepang ke China.
“Kalau ini kemudian diubah (dari Jepang ke China), maka di situ ada rencana jahat,” ujar Anthony dalam diskusi virtual bertajuk “Whoosh: Proyek Sosial, Politik, Bisnis, atau Lahan Korupsi”, yang digelar Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita, Senin malam (3/11).
Ia menilai alasan pemerintah memindahkan proyek tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Menurut Anthony, justifikasi bahwa Jepang meminta jaminan pemerintah atau government to government (G to G) tidaklah cukup, sebab proyek MRT Jakarta yang dibiayai Jepang juga melalui skema serupa.
“China dikatakan tanpa jaminan dimenangkan meskipun lebih mahal. Nilainya naik dari 5,5 miliar dolar menjadi 6,07 miliar dolar,” paparnya.
Dugaan Pembengkakan dan Markup
Anthony juga mengungkap adanya pembengkakan biaya hingga 1,2 miliar dolar yang diduga berasal dari bunga kapitalisasi sebesar 3,4%, lebih tinggi dari bunga utang pokok 2%. Ia menilai pengalihan proyek dari Jepang ke China menyebabkan potensi kerugian hingga 4,5 miliar dolar.
“Kalau dengan 4 miliar saja, per kilometernya untuk Jakarta–Bandung sekitar 28 juta dolar AS, sudah lebih tinggi dari 22 juta dolar AS biaya kereta cepat Shanghai–Hangzhou,” ujarnya.





