Di masa kini, zat adiktif tak lagi hanya masuk ke syaraf manusia melalui cara konvensional, seperti melalui hisapan atau injeksi, tetapi juga bisa masuk melalu pandangan mata. Inilah “narkoba lewat mata”, disingkat “narkolema”. Daya rusaknya terhadap otak luar biasa. Perlu langkah efektif untuk menangkalnya, salah satunya dengan membangun pendidikan yang fokus pada keselamatan hati.
Modernitas menyuguhkan kemajuan, menjanjikan kemakmuran, sekaligus menghadirkan kebangkrutan, perasaan cemas, kehancuran, dan kesengsaraan. Telepon seluler (ponsel) makin pintar, kemampuannya terus meningkat, namun menghadirkan tak sedikit dampak negatif.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa pengguna ponsel saat ini tak hanya menjelma menjadi smombie—smarthphone zombie, anggota “suku kepala tertunduk”, atau member “klan jempol”, tetapi juga menjadi pecandu narkoba lewat mata alias narkolema.
Narkolema Pornografi
Istilah narkolema diperkenalkan oleh Mark B. Kastleman, penulis buku The Drugs of The New Millenium. Istilah aslinya adalah visual crack cocain. “Pornografi adalah narkoba di era milenium baru, yang membuat dunia berada di tengah-tengah bencana yang mengerikan,” tulis Kastleman.
Sebuah survei menyebutkan, setiap tahunnya 72 juta orang mengunjungi situs penyaji muatan pornografi. Setiap detik ada 28 ribu pengguna internet mengaksesnya. Dua per tiga dari seluruh penikmat pornografi internet adalah laki-laki, sisanya perempuan. Kelompok usia 12-17 tahun adalah konsumen terbesar.
Banyak hasil penelitian menyebutkan bahwa pornografi, yang biasanya diakses manusia melalui mata, memiliki daya rusak yang luar biasa sebagaimana narkoba. Maka dari itulah dia disebut narkoba lewat mata. Menurut data yang dilansir Kompas, dari 100 situs besar di Indonesia, 7% di antaranya menyajikan pornografi. Hampir 57% responden yang menjadi objek survei mengaku pernah mencari konten seperti itu.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Indonesia kini menduduki peringkat pertama sebagai negara pengakses situs porno. Sementara menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), 90% anak muda terpapar pornografi melalui internet sejak usia 11 tahun. Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 395 remaja sekolah menengah pertama (SMP) tersebut, didapati fakta bahwa 83,3% di antaranya telah terpapar pornografi dan 79,5% telah mengalami efek paparan berupa kecanduan.
Sedangkan berdasarkan penelitian Katapedia, pada tahun 2016 didapati ada 60 ribu siswa sekolah dasar (SD) yang terpapar pornografi. Data tersebut juga menjelaskan bahwa anak SD kelas III – VI mengakses 20-30 situs porno dalam waktu dua bulan.
Pada 3 Maret 2012—sebagaimana dilansir Media Indonesia—Indonesia menempati peringkat pertama dalam hal pengunduh dan pengunggah situs porno. Sebelas tahun berselang, atau saat ini, Indonesia berada di peringkat kedua setelah Rusia. Mayoritas pengunduh muatan amoral ini adalah remaja seusia pelajar SMP dan SMA. Sedangkan menurut hasil analisis Google, jumlah pengakses konten porno di Indonesia tak jauh beda dengan Amerika Serikat—negara produsen muatan pornografi terbesar di muka bumi.
Pada tahun 2015, Kementerian Sosial (Kemensos) RI menyatakan Indonesia sudah masuk darurat pornografi. Kondisi ini, menurut temuan Kemensos kala itu, terbukti dengan adanya temuan dana sekitar Rp50 triliun yang dibelanjakan untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan pornografi pada tahun 2014. Angka ini besarnya sama dengan belanja narkoba selama setahun.
Dr. Randall F. Hyde, Ph.D, psikolog senior Amerika yang mempunyai misi khusus menghilangkan dampak negatif pornografi pada remaja di Indonesia pada tahun 2010 lalu pernah mengatakan: “Percayalah, pornografi adalah suatu bencana yang kami sendiri (Amerika—red) keteteran. Negara kami dapat mempersiapkan perang dengan senjata dan tentara. Negara kami bisa menghadapi penyakit dengan temuan obat dan penelitian ilmuwan kami. Tetapi, untuk pornografi, percayalah, pada awalnya kami tidak siap dan tidak tahu cara apa yang harus dilakukan untuk melawannya. Di Amerika, masalah pornografi paling buruk melanda masyarakatnya 20 tahun yang lalu (tahun 1990—red) dan saat ini (2010) sudah jauh berkurang. Sementara di Indonesia, saat inilah (2010) masa-masa terburuknya”.