Pesantren Hayya Alas Sholah Hayya Alal Falah Iqomatus Sholah Shiddiqiyyah dibangun di Karangpapak, Cisolok, Palabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, sebagai benteng Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penggagasnya adalah KH. Mochammad Muchtar Mu’thi. Siapakah ulama ini? Kenapa dia begitu cinta NKRI?
Mochammad Muchtar Mu’thi adalah Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah Indonesia. Dia merupakan putra KH. Abdul Mu’thi, cucu KH. Achmad Syuhada. Melalui Tarekat Shiddiqiyyah Indonesia, ulama yang akrab disapa Kiai Tar ini mengangkat arus baru dalam bertasawuf. Dia mendakwahkan pentingnya cinta tanah air dalam laku hidup.
Kiai Tar membawa Shiddiqiyyah meninjau kembali relasi mendasar antara tasawuf dalam Islam dan nasionalisme di Indonesia. Dia mengajarkan gagasan unik soal nasionalisme.
Umumnya, dalam dunia tasawuf, ajaran tentang cinta tanah air dan nasionalisme bukan objek kajian yang dianggap penting—bahkan hampir tak tersentuh sama sekali. Paham nasionalisme kerap dianggap sebagai persoalan duniawi belaka. Nasionalisme, yang di dalamnya memuat ajaran cinta tanah air, oleh sementara orang justru dianggap dapat menjauhkan hati nurani manusia dari Tuhannya.
Namun, tidak demikian pandangan Kiai Muchtar. Dia yakin bahwa nasionalisme dan keislaman tak dapat dipisahkan. Untuk menegaskan pandangan tersebut, Kiai Tar mengeluarkan pernyataan tegas kepada warga Shiddiqiyyah: Yang tidak sanggup cinta kepada tanah airnya berarti bukan murid Shiddiqiyyah. Kiai Tar juga tegas menyatakan bahwa murid Shiddiqiyyah yang tak sanggup mengemban tugas nasionalisme dipersilahkan belajar ke tarekat lain yang tidak mengajarkan cinta tanah air.
Bagi Kiai Tar, jiwa nasionalisme tumbuh bukan karena ketidaksengajaan. Dia tumbuh sebagai pemberian dari Tuhan. Dan hakikat kemerdekaan Bangsa Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus, menurut Kiai Tar, adalah satu gift atau anugerah yang secara langsung memunculkan nilai-nilai bahwa kemerdekaan merupakan fitrah sekaligus berkah dari Tuhan.
Munculnya kalimat, “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”, pada alinea awal pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, menurut Kiai Tar, merupakan bukti bahwa para founding father Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan sebagai satu primordial gift dari Tuhan untuk segenap Bangsa dan Negara Indonesia.
Nasionalisme, dalam perspektif Shiddiqiyyah, merupakan berkah. Namun, untuk bisa memahami keberkahan tersebut, diperlukan nurani atau kesadaran tertinggi (peak consciousness) manusia yang selaras dengan ajaran Islam.