samudrafakta.com

KH. Bisri Syansuri (1): Ulama Tegas namun Tawaduk, Tandem KH. Wahab Memimpin NU

KH. Bisri Syansuri adalah ulama yang teguh pada fikih. Pandangan-pandangan tegasnya tentang hukum—utamanya syariat Islam—tak jarang terkesan keras. Tanpa kompromi. Namun, di balik semua itu, hidup jiwa pelayan pada dirinya. Tegas, namun tawaduk.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin banyak menyebut nama KH. Bisri Syansuri ketika menyampaikan pidato deklarasi pencalonannya sebagai bakal calon wakil presiden Anies Baswedan, di Hotel Majapahit Surabaya, Sabtu, 2 September 2023.

Sepertinya Cak Imin sedang berusaha “memanggil kekuatan nasab” dalam ikhtiar politiknya terebut. Sebab, Mbah Bisri adalah kakek buyut Cak Imin. Dia adalah ulama ahli fikih, pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang, dan salah satu dari tiga serangkai  pendiri Nahdaltul Ulama (NU) bersama KH. Hasyim Asya’ri dan KH. Wahab Chasbullah.

Mbah Hasyim, Mbah Wahab, dan Mbah Bisri masih memiliki hubungan kerabat. Mbah Bisri menikah dengan adik kandung Mbah Wahab yang bernama Nur Khodijah. Mbah Bisri juga merupakan besan Mbah Hasyim Asy’ari—yangjuga gurunya sendiri. Sedangkan Putra Mbah Hasyim, KH. Abdul Wahid Hasyim, menikah dengan putri Mbah Bisri, Nyai Solihah Munawwaroh. Dari pasangan ini lahir KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Baca Juga :   Buntut Janji Tambang Jokowi ke PBNU, Nahdliyin Menilai ber-NU Tak Lagi Menarik?

Mbah Wahab dan Mbah Bisri merupakan dua ulama yang saling melengkapi—sering disebut dwi tunggal—dalam tubuh NU sepeninggal Kiai Hasyim Asy’ari. Hampir pada setiap peristiwa penting, di mana Mbah Wahab hadir, Mbah Bisri mendampinginya.

Kedua tokoh tersebut bersama-sama mengemudikan NU sejak masih dalam bentuk jam’iyyah hingga menjadi partai politik. Bila Mbah Wahab terpilih menjadi Rais ‘Aam, jabatan wakilnya otomatis ke Mbah Bisri.

Kedua tokoh itu, pada dasarnya, memiliki landasan berpijak dan pangkal orientasi yang sama. Hanya saja, dalam penerapan ilmu di masyarakat, keduanya punya cara berbeda. Maka dari itulah, di mana pun mereka bertemu, biasanya timbul perdebatan untuk mendiskusikan pendapat masing-masing.

Dalam menerapkan suatu hukum, misalnya, Mbah Wahab sering berbeda pendapat dengan Mbah Bisri.

Mbah Wahab, dalam menerapkan hukum—terutama syariat Islam—selalu mengukur kondisi masyarakat tempat di mana hukum itu diterapkan. Yang selalu menjadi pertimbangan utamanya adalah: apakah masyarakat bisa menanggung konsekuensinya? Sebab, dalam pandangan Mbah Wahab, tujuan hukum itu untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Makanya, Mbah Wahab biasanya memilih penerapan hukum yang paling ringan.

Baca Juga :   Yaqut Soal Pemilu: PBNU Harus Netral, GP Ansor Terserah Ketua Umumnya

Mbah Bisri sebaliknya. Dia melihat penerapkan hukum berdasarkan faktor mental manusia. Maksudnya begini: menurut Mbah Bisri, pada umumnya manusia selalu menghindari tuntutan hukum, kendati hukum itu ringan. Maka dari itu, menurut dia, lebih baik menerapkan hukum yang lebih berat—karena, toh, nantinya bakal ditawar. Dengan demikian, ketika seseorang melanggar hukum berat yang diterapkan itu, ia masih mungkin ditampung oleh hukum yang lebih ringansetelah dia menawarnya.

Karena prinsip itulah fatwa-fatwa Mbah Bisri umumnya dikenal sebagai fatwa yang ‘keras’. Dia hanya mengenal halal dan haram. Bahkan, dalam hal yang lebih prinsip, Mbah Bisri tak kenal kompromi.

Artikel Terkait

Leave a Comment