Marx keliru memandang agama sebagai alat penenang rakyat, padahal iman sejati justru melahirkan keberanian untuk menegakkan keadilan.
Karl Marx menulis kalimat “agama adalah candu bagi rakyat” pada 1844, di masa Eropa dikuasai kapitalisme industri yang menindas buruh. Ia melihat Gereja berdiri megah di tengah penderitaan rakyat dan menilai agama hanya meninabobokan kaum tertindas agar pasrah pada nasib.
Namun di sinilah letak kesalahannya. Marx menggeneralisasi pengalaman Eropa abad ke-19 dan menganggap semua agama berfungsi sama seperti Gereja pada zamannya. Ia gagal memahami bahwa iman juga bisa menjadi kekuatan pembebasan sosial, bukan sekadar penghiburan spiritual.
Dalam Islam, misalnya, iman tidak mematikan kesadaran sosial. Nabi Muhammad Saw. justru membawa revolusi nilai di tengah masyarakat Arab yang timpang: menghapus riba, mewajibkan zakat, dan memerintahkan menegakkan keadilan bahkan terhadap diri sendiri.
Ayat-ayat seperti “Celakalah orang-orang yang curang dalam timbangan” (QS Al-Muthaffifin: 1) menunjukkan bahwa spiritualitas dan keadilan sosial berjalan beriringan.
Marx benar bahwa agama bisa disalahgunakan oleh kekuasaan—ketika ayat dipakai untuk membenarkan ketidakadilan. Tapi kesimpulannya keliru: bukan agama yang meninabobokan, melainkan manusia yang memelintirnya.
Tugas kita hari ini bukan menolak kritik Marx, melainkan membuktikan bahwa iman yang sejati membangkitkan, bukan menidurkan; membebaskan, bukan membelenggu.***
Selengkapnya baca di sini.





