Imam al-Ghazali mengingatkan, cahaya sejati bukan dari layar dan lampu, tapi dari hati yang bersih.
Lebih dari sembilan abad lalu, Imam Abu Hamid al-Ghazali menulis Misykatul Anwar, karya kecil yang membahas ayat “Allāhu nūru as-samāwāti wal-ardh” — Allah adalah cahaya langit dan bumi. Namun kitab ini bukan sekadar tafsir, melainkan renungan mendalam tentang bagaimana manusia mencari terang sejati di tengah gelapnya zaman.
Al-Ghazali menulis kitab ini setelah melewati pergulatan panjang antara akal dan hati. Ia menemukan bahwa ilmu dan logika saja tak cukup membawa manusia pada kebenaran, tanpa cahaya dari Tuhan. “Cahaya bisa menyilaukan bagi yang belum siap menatapnya,” tulisnya, menggambarkan betapa pencerahan memerlukan kesiapan jiwa.
Baginya, cahaya bukan sekadar sinar, tapi lambang keberadaan Tuhan. Segala yang hidup hanyalah pantulan cahaya-Nya. Ketika cahaya itu pergi, yang tersisa hanyalah kegelapan. Karena itu, perjalanan spiritual sejati adalah menyingkap tirai-tirai batin hingga nur Ilahi tampak di dalam diri.
Kini, kita hidup di zaman yang terang oleh teknologi tapi gelap dalam makna. Misykatul Anwar mengingatkan, pencerahan sejati tidak datang dari luar, melainkan memancar dari hati yang jernih dan rendah hati.
Selengkapnya di sini.





