samudrafakta.com

Politik Islam (4): Tripartit Ulama, Pemimpin, dan Rakyat untuk Mewujudkan Keadilan

Ilustrasi harmoni kepemimpinan dalam sebuah negara. Dalam konsep politik Islam, ulama, pemimpin, dan rakyat harus senantiasa bersinergi untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran. FOTO: Canva
YOGYAKARTA—Hubungan erat antara ulama, pemimpin, dan rakyat adalah roh politik Islam. Ulama menjadi penasihat pemimpin, dan kerusakan pemimpin disebabkan kerusakan ulama. Dan kerusakan pemimpin adalah keruntuhan negara dan kehancuran rakyat.

Ulama adalah soko guru bangunan berbangsa dan bernegara. Demikian halnya dengan pemimpin, harus menjadi pelayan rakyat, bukan mengambil keuntungan dari rakyat.

Konsep “Tripartit Ulama, Pemimpin dan Rakyat” pertama kali diperkenalkan oleh Imam Abū Bakar Muhammad bin Muhammad bin Al-Walīd Al-Fahrī Al-Thurthūsyī Al-Mālikī (w. 520), di dalam kitabnya, Sirāj al-Mulūk. Imam al- Thurthūsyī adalah ulama kelahiran Tortosa, Spanyol, pada 451 H.

Dalam Sirāj al-Mulūk, al- Thurthūsyī menulis dua bab khusus berjudul: “Maqāmāt al-‘Ulamā wa al-Shālihīn ‘inda al-Umarā’ wa al-Salāthīn (Kedudukan Ulama dan Orang Saleh di Hadapan Amir dan Sultan)” dan “Anna al-Sulthān ma’a Ra’yatihi Maghbūna Ghairu Ghābin wa Khāsir Ghairu Rābih (Sultan di Hadapan Rakyat Haruslah Lemah Tak Boleh Kuat dan Rugi Tak Boleh Untung).”

Al- Thurthūsyī mengisahkan, pada suatu hari Ahnāf bin Qais menghadap Khalifah Mu’awiyah bin Abī Sufyān. Ahnāf melaporkan bahwa penduduk Kota Bashrah berjumlah sedikit, mayoritas pengangguran, menderita banyak penyakit, dan sering bepergian. Orang yang kaya berpangku tangan, dan orang yang miskin mengemis. Penduduk Bashrah sudah mencapai titik puncak krisis.

Baca Juga :   Politik Islam (1): Bukan Implementasi Syariat, Pemimpin Politik Hanya Mengurus Duniawi

Ahnāf kemudian berkata, “Seandainya Amirul Mukminin berpikir pentingnya orang miskin bangkit, orang pengangguran diberi upah dari pekerjaannya, orang melarat diberi kemudahan, keluar-masuk perdagangan dipermudah, orang sakit diobati dan diberi hadiah agar musibah dituntaskan.”

Dengan nada satir Ahnāf berucap, “Di hari-hari seperti sekarang, seorang pemimpin adalah dia yang banyak memberi, bukan yang bersikap keras kepala; mengutamakan semua golongan, bukan segelintir orang. Jika pemimpin berbuat baik, rakyat akan berterima kasih; dan jika berbuat salah, rakyat akan memaafkan. Seorang pemimpin akan menjadi tiang penyangga rakyatnya. Dia akan menghilangkan semua penderitaan dan marabahaya dari rakyatnya,” (Al- Thurthūsyī, Sirāj al-Mulūk, 1289 H./1868 M.:29).

Artikel Terkait

Leave a Comment