Kirun dan Obor Ludruk yang Tak Pernah Padam

Penampilan Ludruk Kirun Dkk di Nganjuk pada Sabtu, 3 Mei 2025, yang disiarkan melalui akun Youtube @H.M Syakirun. Foto:IST
Tanpa masker, Kirun berdiri tegak di atas panggung ludruk Gedung Cak Durasim, Maret 2019, sebelum pandemi mengubah segalanya. Saat Covid melanda dunia pada akhir Desember 2019, Ludruk terancam punah, terhantam dua kali: krisis kesehatan dan digitalisasi. Kirun tak menyerah. Dengan kreativitas dan tekad kuat, ia membuktikan ludruk  bisa beradaptasi, bahkan berkembang di era digital. Bagaimana Kirun mengubah tantangan ini?
__________________

Malam itu, Kirun memainkan Matahati, pementasan yang dramaturginya ia susun sendiri dan ia perankan pula. Tapi ini bukan sekadar ludruk. Ini adalah pernyataan. Bahwa seni tradisional tak pantas dikubur hidup-hidup hanya karena ditinggal generasi muda.

“Pertunjukan tidak harus sampai pagi, koyo biyen,” katanya dengan logat khas Madiun, dikutip dari Jatimnet, 29 Maret 2019. “Cukup dua jam, tapi ceritane tekan.” Dua jam yang padat, dua jam yang mengirimkan pesan. Ia tidak sedang bicara durasi, ia sedang bicara tentang relevansi. Tentang seni yang mengejar zaman, bukan sebaliknya.

Pelawak Kirun saat tampil pada acara puncak Dies Natalis UIN Walisongo Semarang ke 49 di GSG kampus 3 UIN Walisongo, Sabtu, 6 Maret 2019. Foto:Amanat.id

Ludruk, seni rakyat dari rahim Jawa Timur, kini megap-megap dikejar zaman. Generasi milenial, menurut Kirun, tidak akan betah menonton kisah-kisah heroik berbahasa Jawa klasik hingga larut malam. “Harus ada sentuhan modern. Naskah yang aktual. Humor yang segar,” tegasnya. Maka ia angkat King Lear, tragedi Shakespeare, dan membalutnya dalam gaya ludruk. Tragis sekaligus lucu. Getir, tapi menggelitik.

Kirun bukan seniman dadakan. Dikutip dari Jurnal Dakwah dan Sosial Kemdikbud,ia adalah Syakirun, lahir 12 Agustus 1959 dari pasangan Marsolo dan Sukirah di Madiun. Ayahnya seorang seniman, dan darah seni mengalir deras sejak kecil. Ludruk bukan romantisme masa lalu baginya—ia adalah jalan hidup. Ia menikahi Lilis, dikaruniai dua anak: Maya Tri Wardani dan Bangkit Yuyudono..

Jejak kariernya bisa ditulis sebagai babad. Dari ketua paguyuban ludruk se-Karesidenan Madiun saat baru 18 tahun, hingga tampil di TVRI, TPI, RCTI, JTV. Ia tak hanya tampil; ia menyutradarai, mengajar, membina. Di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ia mengajar teater daerah dengan pendekatan modern. Ia membentuk Padepokan Seni Kirun (PADSKI), menyemai generasi baru seniman tradisional.

Kirun paham, era digital dan budaya instan membuat ludruk terasa tua. Tapi ia tak menyerah. Ia padukan ludruk dengan stand-up comedy, menambahkan kritik sosial, memodifikasi durasi, tata panggung, kostum, dan musik.  Tentu ada yang nyinyir. Menuduhnya “merusak kemurnian.”

“Apa gunanya murni tapi mati?” Lewat Depot Jamu Kirun, Wayang Gerr, Tayub Badut, dan Ludruk Sayembara, Kirun seolah menunjukkan  modernitas dan tradisi bisa berdialog.

Bukan beradu. Ia menyulap kekunoan menjadi kejenakaan, membuat tawa sebagai alat edukasi. Penghargaan datang silih berganti: dari TVRI, TPI, Pemprov Jatim, hingga Dahlan Iskan.

Kirun kini tak lagi hanya tampil di panggung-panggung konvensional. Ia juga hadir di dunia digital. Lewat kanal YouTube pribadinya, @H.M Syakirun, ia menjadikan internet sebagai ruang baru bagi ludruk.

Pementasan terbarunya, Cinta Tak Terpisahkan, yang digelar Sabtu, 3 Mei 2025 di Nganjuk dan disiarkan langsung, ditonton lebih dari 1.500 pemirsa daring. Ini jadi bukti bahwa ludruk belum habis. Masih ada yang menonton, masih ada yang peduli.

“Selamat dan sukses Abah Kirun dari lover Kirun Banyuwangi,” tulis seorang warganet. Komentar itu sederhana, tapi cukup jadi penanda bahwa upaya Kirun tidak sia-sia. Ia berhasil membawa ludruk menembus batas generasi, dari penonton yang dulu tumbuh dengan panggung, hingga anak muda yang akrab dengan layar.

Di usia senjanya, Kirun terus bergerak. Dari panggung ke panggung, dari pertunjukan langsung ke dunia digital. Ia bukan hanya tampil, tapi juga mengubah cara kita melihat seni tradisi. Selama Kirun masih tampil dan terus berinovasi, ludruk akan tetap punya tempat. Bukan hanya di masa lalu, tapi juga di masa depan.***

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *