Sanksi teguran keras DKPP terhadap lima komisioner KPU atas penggunaan jet pribadi di Pemilu 2024 menuai kritik tajam, disebut hanya “tepuk tangan basa-basi” untuk pelanggaran mewah yang menghamburkan uang rakyat.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi teguran keras kepada lima komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terkait penggunaan pesawat jet pribadi Embraer Legacy 650 selama penyelenggaraan Pemilu 2024.
Keputusan ini langsung memicu gelombang kritik dari kalangan pengamat dan masyarakat sipil yang menilai sanksi itu terlalu ringan.
Mantan Komisioner KPU periode 2012–2017, Hadar Nafis Gumay, menilai keputusan DKPP justru mempermalukan lembaganya sendiri.
“@DKPP_RI mempermalukan dirinya. Menjatuhkan sanksi Peringatan Keras yang tak terasa. Standar kode etik menjadi rendah. @KPU_ID yang bersepakat melanggar aturan, bermewah-mewah, dan menghamburkan uang rakyat dengan menggunakan private jet hanya dianggap tidak profesional,” tulisnya di akun X @HadarNG, dikutip Senin (27/10).
Lebih keras lagi, pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menyebut kasus ini sebagai “kotak Pandora” perilaku hedon di tubuh penyelenggara pemilu. Ia menilai penggunaan jet pribadi sebanyak 59 kali menjadi simbol aji mumpung dan pemborosan anggaran negara.
“Penggunaan jet pribadi adalah ilustrasi konkret soal pendekatan aji mumpung dan oportunistik penganggaran Pemilu 2024. Itu kotak Pandora dari perilaku hedon dan jor-joran penggunaan uang negara,” tulis Titi di akun X @titianggraini, Senin (27/10).
Titi juga menyoroti gaya hidup mewah yang meluas di lingkungan KPU—mulai dari renovasi kantor berfasilitas luks, sewa apartemen Oakwood, mobil dinas mahal, hingga rombongan kunjungan luar negeri.
“KPU memanfaatkan situasi masyarakat yang ingin pemilu tidak ditunda dan perilaku rezim yang cawe-cawe mengatur tahapan pemilu dengan mengajukan anggaran fantastis berdalih agar tahapan bisa terlaksana dengan baik,” lanjutnya.
Ia menilai kondisi itu memperlihatkan lemahnya kontrol dan kultur pragmatis di lembaga penyelenggara pemilu. “Ironisnya, berbagai misuse terbiarkan tanpa kontrol memadai karena semua bersikap pragmatis akibat kepentingan yang saling berkelindan,” tandasnya.
MAKI: Harus Diproses Hukum
Nada serupa datang dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, yang menilai penggunaan jet pribadi oleh KPU bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.
“KPU pasti perencanaannya tidak ada. Alasannya mendadak itu omong kosong. Karena DKPP sudah menyatakan penggunaan jet pribadi itu tidak sah, maka penggunaan anggarannya juga tidak sah,” ujarnya, Selasa (21/10).
Boyamin menegaskan, jika anggaran yang dipakai tidak dikembalikan, kasus itu harus diproses hukum.
“Kalau mereka rela mengembalikan, ya kita anggap dimaafkan. Tapi kalau tidak, itu dugaan korupsi. Harus diproses hukum,” katanya.
Menurutnya, tindakan menggunakan jet pribadi lebih menunjukkan gaya hidup pamer ketimbang kebutuhan dinas.
“Presiden saja jarang-jarang pakai private jet. Menteri lain juga tidak. Firli (eks Ketua KPK) saja dulu saya adukan karena gaya hidup mewah,” ujarnya.
Boyamin menilai KPU tak punya alasan mendesak untuk memakai jet pribadi. “Kalau hanya rapat bisa lewat Zoom, kalau ke daerah cukup pakai pesawat komersil,” ujarnya. Ia menambahkan, “Gaya hidup mewah seperti ini yang bikin anggaran negara jadi tidak efisien, tidak tepat sasaran, dan tidak untuk rakyat.”
Ketua KPU Mochammad Afifuddin sebelumnya membantah tudingan pemborosan. Ia menyebut, total nilai kontrak sewa jet pribadi sebesar Rp46 miliar, masih di bawah pagu anggaran Rp90 miliar.
“Terdapat efisiensi sebesar Rp19 miliar dalam pelaksanaan kontrak pesawat jet,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/5).
Namun bagi publik, “efisiensi” itu tak menghapus kesan bahwa lembaga penyelenggara pemilu telah kehilangan rasa kepekaan terhadap amanah rakyat.***





